Apa yang terjadi?
Perubahan. Ya, perubahan. Hal yang telah dinujumkan oleh filsuf Yunani kuno,
Heraclitus (* 535 SM di Efesus, Turki + 475 sM).
Dirumuskannya secara
bernas hasil amatannya. Usai merendam kaki di sealir sungai mengalir. Sang
ahli-pikir mengamati: air yang sama, tidak pernah kembali lagi. Begitu
seterusnya.
Maka sang filsuf lalu merumuskan hasil amatan,
sekaligus perenungannya yang dalam itu. Terangkai dalam kalimat singkat, "panta
rhei kai ouden menei."
Tidak ada yang tidak berubah di dunia ini. Semua
sirna. Bagai air mengalir yang tak-pernah kembali lagi. Yang tidak berubah
adalah perubahan itu sendiri.
Bagai sungai Kapuas. Sungguh berubah wajah bumi
Borneo. Terutama bila dibanding 10, 20, 30, bahkan 40 tahun sebelumnya.
Perubahan ke arah yang positif
Perubahan ke arah yang positif tentu saja. Salah
satu di antaranya adalah beralihnya pusat kebudayaan, sekaligus pusat ekonomi,
sosial, politik, dan pendidikan. Dari semula pesisir, pinggir sungai, ke
tengah-tengah hutan ketika itu yang pada saat ini dilalui oleh jalan trans Kalimantan,
jalan nasional, selain jalan internasional yang langsung menghubungkan Kalbar
ke negeri Sarawak, Malaysia.
Bahkan beberapa di antaranya adalah dibangunnya
bandar udara. Salah satunya di Sintang. Yang letaknya antara perbatasan Sekadau
dan Sintang yang diberi nama Tebelian. Yakni nama untuk kayu besi atau kayu
ulin di kalangan penduduk Kalimantan Barat.
Pusat kebudayaan : dari pesisir ke daratan
Peralihan. Sekaligus ekses, pusat kebudayaan dan
pusat apa pun juga dari pesisir /pinggir sungai ke tengah-tengah hutan ini. Telah pun saya prediksi
tahun-tahun sebelumnya.
Credit Union (CU) Keling Kumang motor,
sekaligus penganjur gerakan ekonomi kerakyatan Kalimantan Barat. Anggotanya
kini 205.000. Tersebar di seluruh Kalimantan Barat. Kantor pelayanan sebanyak
70. Adapun asetnya mendekati 2 T.
Dahulu kala. Pusat kebudayaan di pinggir sungai
di mana orang Dayak tidak dapat bersaing ketika itu. Sedemikian rupa,
sehingga pada akhirnya terdesak pindah ke daratan.
Hikmahnya, tentu saja, ada. Kemudian hari,
mereka mempunyai banyak lahan seluas-luasnya sejauh bisa dan mampu dibuka.
Tinggal menandai saja batas lahan dengan tanaman buah, atau karet. Itu sudah
ada pemiliknya. Dan mereka mempunyai banyak tanah pada saat ini.
Itulah yang kemudian dikenal sebagai blessing
in disguise. Dahulu kala. Orang darat adalah cap atau labeling bagi orang
Dayak karena suka tinggal dan bermukim di darat, jauh dari pesisir yang
dianggap "beradab". Namun, kini kutukan tersebut berubah menjadi
berkat.
Berkat itu, antara lai bahwa Dayak mempunyai lahan cukup luas. Setidak-tidakya, satu keluarga Dayak mempunyai 1 hektar lahan yang bisa ditanami komoditas bernilai ekonomi, seperti: karet (dahulu kala), kopi, kakao, dan kini sawit.
Baca Cornelis: Penduduk Kalimantan, Kayalah Dengan Sawit Di Tanah Sendiri
Maka sungguh menarik mengamati fenomena perubahan arus peradaban dan sentral kebudayaan dari pesisir ke daratan,
Pertama, tentang perubahan pusat kebudayaan dan
pusat apa pun juga ini dari pesisir ke daratan. Dengan implikasi-implikasinya
yang sangat mendasar dan signifikan.
Kedua, fenomenon mengenai menggeliatnya ekonomi
kerakyatan yang saya sebut sebagai prakapitalisme di Kalimantan Barat yang awal
mula digerakkan oleh Gereja Katolik di Kalimantan Barat dengan menggelorakan
semangat berkoperasi atau berkredit union.
Akan tetapi, jangan takabur dulu. CU tumbuh dan
berkembang di Kalimantan bukan tanpa sebab. Hasil amatan saya sebagai berikut:
CU hanya bisa tumbuh dan berkembang di tempat orang saling percaya.Warga
membutuhkan satu sama lain. Komunitasnya guyub. Saling tolong. Penuh dengan
kepercayaan dan cinta kasih, dengan kadar bela rasa yang tulus.
CU dan Masyarakat Dayak
Kemudian, spirit ini ditangkap oleh masyarakat
Dayak, terutama di Kalimantan Barat yang dikenal adalah CU Lantang Tipo tahun
70-an diikuti CU Pancur Kasih. Dan kemudian luar biasa tumbuh di tanah ibanik
Sekadau, Sintang, dan Putussibau yakni CU Keling Kumang. Nama ini dipetik
dari tokoh Rama dan Sinta-nya orang Iban.
Tidak dapat menarasikan CU yang lain di sini.
Akan tetapi, cukup Keling Kumang saja. Anggotanya kini 205.000.
Tersebar di seluruh Kalimantan Barat. Kantor
pelayanan sebanyak 70. Adapun asetnya mendekati dua triliun.
Sekadar untuk diketahui. CU Keling Kumang bukan
hanya mengurusi urusan kredit saja, simpan pinjam. Melainkan juga mempunyai
semacam holding company. Salah dua di antaranya adalah SMK Keling
Kumang dan Institut Teknologi Keling Kumang.
Selain itu, punya juga mini market, yaitu
pusat-pusat perbelanjaan yang tiap kali dipadati oleh pengunjung dan
anggota-anggota.
Dan hal yang sangat kita fokuskan perhatian
adalah mengenai salah satu misi CU Keling Kumang, yakni financial
literacy atau melek di bidang keuangan bagi orang Dayak dan seluruh
anggotanya.
Sangat nyata literasi finansial ini. Bagaimana
CU mendidik orang-orang Dayak supaya berhemat, menabung, disiplin dalam hal
keuangan (membayar kredit sesuai jumlah), supaya kalau meminjam uang itu tidak
konsumtif akan tetapi produktif.
Dan kredit yang dikucurkan CU, dibantu dan
didampingi untuk digunakan anggota sesuai dengan tujuan. Kredit hendaknya
digunakan secara sangkil dan mangkus sebagai modal bekerja sedemikian rupa,
sehingga menghasilkan uang dari modal tersebut.
Dan kini. CU Keling Kumang sudah sangat maju. CU
dengan warna khas biru merah ini mobile dan juga lincah dengan mendirikan juga
ATM di berbagai kota dan tempat.
Selain itu. CUKK juga sangat visioner ke depan.
Geliat dinamika serta akselerasinya, tidak kalah dibanding bank-bank umum.
Dengan produk dan jasa biasa yang menyediakan kemudahan dalam bentuk transaksi
atau uang digital.
Hal yang cukup unik. ATM CU Keling Kumang. Tidak
harus menggunakan kartu untuk transaksi.
Cukup menggunakan ponsel. Tentu saja, sudah men-down
load aplikasi Keling Kumang Digital.
Kini CU sungguh memudahkan anggota yang mobile,
pelayanan prima dan profesional. Bisa juga transfer dan transaksi virtual ke
segala keperluan. Terkini. Jika ada "Bank Dayak" mengapa menggunakan
yang lain?
Bayangkan saja! Berapa biaya administrasinya?
250.000 anggota dikalikan sekali transaksi rp6.500 sudah berapa? Mendingan
membesarkan "bank" sendiri. Sebab akan kembali kepada kita
kebesarannya.
Mari sama-sama kita jadikan CU terbesar dan
terbaik di negeri ini.
Sekaligus kita gelorakan financial
literacy. Hingga ke seluruh negeri.
CU Kalbar sempat diganggu
Dan satu hal penting lagi yang patut diingat. CU
di Kalimantan, tahun lalu, sempat diributkan. Dibikin seakan-akan salah. Dengan
berbagai dalih. Dicari-cari. Terkesan "ada pesanan". Namun, semua
bermuara pada "kecemburuan sosial". Salah satunya, asas koperasi
--yang dimiliki semua anggota ini- hendak dibidik dengan peraturan perbankan.
Ya, dilawan! Sebab salah kaprah.
Salah seorang tokoh yang berteriak, dan
lantang melawan, adalah Uskup Agung Pontianak, Mgr. Agustinus Agus, M.A. Selain
dr. Karolin Margret Natasha, mewakili Pemuda Katolik.
Toh, bagaimanapun. Meski cukup merepotkan.
Sekaligus menyebalkan. Tetap ada hikmah peristiwa mengacak-acak CU. Badan CU
tumbuh jadi kian imun. Tahan terhadap amukan badai. Tidak guncang meski kondisi
turbulensi.
CU itu tetap pada fitrahnya. Koperasi. Tapi rasa
Bank Dayak.
Nah!
(Rangkaya Bada *)