Damang Batu dan Pertemuan Tumbang Anoi 1894
Damang Batu (tengah) dengan ika kepala.Istimewa. |
Damang Batu tokoh legendaris. Sekaligus sosok fenomenal. Ia wajib bukan saja dicatat, melainkan diingat sepanjang segala abad, amen, dalam sejarah Dayak dan kedayakan. Mengapa? Sebab Damang Batu tokoh sentral dari Pertemuan Tumbang Anoi, yang diselenggarakan 3 bulan dari 22 Mei – 24 Juli 1894.
Pada usia 73 tahun, Damang Batu menjadi tuan rumah yang menyelenggarakan Pertemuan Damai yang dikenal dengan “Pertemuan Tumbang Anoi”.
Ada berbagai kisah, mengapa Damang Batu yang terpilih sebagai penyelenggara dan tuan rumah pertemuan bersejarah itu. Dari sekian banyak versi, agaknya kita bersetuju dengan catatan Nahan (1870 – 1930) yang dikenal sebagai penulis Dayak tempo doeloe.
Nahan, antara lain menulis, “Metoh Damang Batoe melai intoe Tbg. Anoi, salenga doemah oloh bara lewoe Tbg. Telaken (Manoehing) area Engkan. Panoemah Engkan manalih Damang Batoe blakoe sahiring kolae 3 biti, idje impatei Timbang, kolan Damang Batoe. Tapi Damang Batoe te, dia nahoeang bajar sahiring akae, basa Timbang idje mampatei ewen telo je, djari matei. Koan Damang Batoe dengan Engkan akoe dia nahoeang bajar sahiring te. Amon ikau badjoedjoe managihe kaleh itah hapeono ih. Bahalap wei djalaham hajak sadia kare kata. Tempo 3 boelan, akoe toentang kare djahalangkoe doemah kantoh tinai, paloes itah hakalhi, hatembak, hapoeno, hatedjep. Sama hapoes 3 boelan Engkan toentang 12 biti awing dengae, doemah tinai akan Tbg. Anoi. Maka Damang Batoe, djari tatap toemon aoeh lakoen Engkan.”
Damang Batu bukan hanya tokoh sentral Pertemuan Tumbang Anoi 1894. Ia patut dicatat sejarah Dayak, bahkan dijunjung dan diperjuangkan menjadi pahlawan nasional.
Teks tertulis itu bersaksi bahwa sekonyong-konyong datang banyak “musuh” dari Tumbang Telaken ke Manuhing. Pasukan itu dipimpin Engkan, menemui Damang Batu untuk minta pertanggungjawaban atas pembunuhan (sahiring) terhadap tiga saudara Engkan yang telah dikayau oleh Timbang yang masih merupakan keluarga Damang Batu. Namun, Damang Batu menampik membayar sahiring tersebut. Jika saja Engkan berkeras hati tetap menagih, maka kata Damang Batu “baiklah kita saling kayau”.
Tantangan tersebut dijawab oleh Engkan, “Baiklah, siapkan saja seluruh saudaramu dan dalam tempo 3 bulan aku dan seluruh keluargaku akan ke Tumbang Anoi untuk berkayau dan mengadakan perhitungan.”
Perseteruan, atau perkayauan, antara Damang Batu dan Engkan ini agaknya yang menginspirasi Damang Batu menghentikan pengayauan di ranah Dayak. Ia memandang bahwa pertumpahan darah yang sia-sia, saling bunuh antarpuak Dayak yang umum terjadi di bumi Borneo saat itu, perlu dihapuskan.
Damang Batu pun gencar melakukan pendekatan, baik kepada sesama damang, temenggung, maupun panglima atau kepala suku. Bahkan, seruan perdamaian ini direspons oleh Controleur A.C. Deher di Kapuas. Maka terjadilah peristiwa bersejarah, Pertemuan Tumbang Anoi pada 1894.
Damang Batu bukan saja inisiator, tuan rumah, sekaligus penyelenggara Pertemuan Tumbang Anoi 1894 bersejarah dan mahapenting itu. Ia wajib diingat, bahkan selayaknya dibaiat menjadi pahlawan suku bangsa Dayak. Tidak berlebihan menyebut Damang Batu adalah “Gadjahmada”-nya orang Dayak.
Ia tokoh pemersatu suku bangsa Dayak. Sebab yang ikut dalam musyawarah itu lebih dari seribu peserta, bukan hanya para pemuka Dayak yang kini tergabung dalam NKRI, peserta juga datang dari Brunei dan negeri Sarawak.
Inilah tonggak sejarah yang oleh saya dan Mahin disebut sebagai awal munculnya kesadaran- diri (ethnic identity) suku bangsa Dayak.
Damang Batu wafat pada usia 97 tahun. *)