Karet, Pohon Getah yang Berjasa pada Dayak: Selamat Tinggal! (Bagian 1 dari 5 Tulisan)
Karet, sang pohon penyumbang getah, telah melekat dalam peran pentingnya bagi masyarakat suku Dayak. Setiap pagi, langkah sadap menandai harap yang basah, dan ketika matahari mencapai puncaknya, getah tersebut sudah berpindah tangan dalam bentuk dagangan segar. Sehari bekerja, manfaatnya dirasakan segera.
Kehidupan orang Dayak di masa lalu dirangkai oleh jasa tak terbilang dari pohon karet ini. Tidak syak lagi bahwa menjadi mata pencaharian, membiayai pendidikan, membuka jalan ke bangku kuliah, serta meningkatkan kesejahteraan ekonomi suku Dayak.
Namun, bayangan masa lalu kini bergelayut di tepi ketidakpastian. Harga getah yang semakin merosot, kini hanya berputar di angka Rp 5.000 per kilogram, mengancam nasib pohon karet di wilayah Kalimantan Barat. Kedengarannya pun, suara gergaji semakin dekat.
Pohon-pohon yang telah memberikan berkah selama bertahun-tahun kini terancam akan ditebang. Namun, takdir ini tak berdiri sendiri. Pohon-pohon karet yang tumbang akan memberi jalan bagi "emas hijau" lainnya, seperti sawit, koko, kopi, dan vanili, atau tanaman lain yang memiliki nilai ekonomi yang melambung.
Perubahan ini memang suatu realitas tak terelakkan, tetapi mengingatkan kita akan peran karet dalam membentuk jejak sejarah dan memberi arti bagi kehidupan masyarakat Dayak. Sembari membuka pintu baru menuju tanaman-tanaman bernilai tinggi, kita tidak boleh melupakan makna yang dalam dari getah putih yang mengalir dari pohon karet, penopang kehidupan dan penghidupan bagi banyak orang.
Karet: Berjasa di masa lalu
Karet. Pohon yang telah lama menjadi sandaran ekonomi dan berjasa besar bagi masyarakat Dayak sejak zaman pemerintahan kompeni Hindia Belanda, kini hanya tersisa dalam ingatan di Kalimantan. Akibat penurunan harga karet yang signifikan, terakhir kali mengalami masa keemasan di atas angka Rp10.000 per kilogram pada era pemerintahan SBY, sekarang pohon karet ditebang dan digantikan oleh perkebunan kelapa sawit.
Dinamika perubahan ini mencerminkan perjalanan waktu yang tak terelakkan. Dayak, pewaris sah pulau terbesar ke-3 dunia dengan luas 743.330 km², harus bisa beradaptasi. Bukti bahwa indigenous people of Borneo.
Di balik dedaunan lebat dan ranting yang menjulang, pohon karet menyimpan kisah panjang yang merangkai zaman-zaman. Getahnya yang mengalir berwarna putih seperti susu, mengalirkan kehidupan bagi masyarakat Dayak sejak zaman kuno. Sebelum langkah-langkah merdeka membawa angin perubahan, bahkan sebelum bendera Indonesia berkibar, kisah pohon ini sudah terpahat dalam ingatan, berakar sejak zaman Hindia Belanda.
Namanya, "hevea brasiliensis", pohon karet pertama di Nusantara, tiba dari Amerika Selatan di bawah pimpinan tangan berkuasa Hindia Belanda. Itu terjadi sekitar tahun 1867, ketika Buitenzorg (Kebun Raya Bogor) menjadi tempat pertama pohon ini berakar di tanah yang jauh dari asalnya.
Seiring waktu, tanaman asing ini mulai menyebarkan cabangnya di tanah Jawa, Sumatera, dan Borneo. Tahun 1876 menjadi tonggak bersejarah, menciptakan jejak dalam lembaran budidaya karet di bawah bendera Hindia Belanda.
Bahkan di zaman sekarang, jika kamu menanyakan kepada orang-orang tua yang usianya telah menginjak 80 tahun atau lebih, mereka akan merasa akrab dengan sebutan "Nirub". Bayangkan kapal selam raksasa, muncul dan tenggelam dengan gemuruh mesin yang menggelegar seperti batuk raksasa. Kapal ini adalah Nederlandsch-Indië Rubber, milik kompeni Hindia Belanda, yang berlayar di atas sungai Kapuas, Landak, Melawi, dan Sekayam. Kapal Nirub adalah pelayar karet, mengangkut ton-ton karet dari dalam hutan menuju dunia luar.
Hevea brasiliensis, pohon karet pertama di Nusantara, tiba dari Amerika Selatan di bawah pimpinan tangan berkuasa Hindia Belanda. Itu terjadi sekitar tahun 1867, ketika Buitenzorg (Kebun Raya Bogor) menjadi tempat pertama pohon ini berakar di tanah yang jauh dari asalnya.
Di tanah Borneo, pada masa itu, praktik penjajahan mungkin tidak tampak seperti yang kita bayangkan. Namun, pengaruhnya merasuk melalui hubungan dengan raja-raja lokal, seperti sultan dan panembahan.
Karet tumbuh liar, bukan dalam barisan seperti kebun. Sebagian besar ditanam tanpa rencana, hanya untuk menandai kepemilikan lahan. Namun, sedikit orang yang dengan sengaja memelihara tanaman karet ini, menghasilkan getah yang tak terduga.
Jasa kompeni Hindia Belanda
Cerita tentang Kompeni Hindia Belanda telah dibiaskan dengan citraan negatif yang meresap dalam benak banyak orang. Segala apa yang dilakukan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), diselubungi oleh bayang-bayang kesalahan dan kebijakan yang kontroversial.
Namun, andai kita berani melihat dengan tulus, tak semuanya melulu perbuatan dalam bayang-bayang gelap tersebut. Ada sejarah yang terukir, menyaksikan peran positif dalam mengenalkan asal usul tanaman karet yang berharga, mengenai penanaman bibit yang memiliki kualitas unggul, dan bahkan proses penuh perhatian dari getah menjadi bahan makanan yang tak ternilai serta elemen pokok dalam kehidupan zaman dahulu. Semua itu, tidak dapat dipungkiri, adalah warisan yang ditinggalkan oleh VOC dan Kompeni Hindia Belanda.
Ketika zaman penjajahan Belanda melanda, tanah-tanah milik masyarakat Dayak telah ditanami dengan bibit karet dari perkebunan kompeni. Salah satu varietas yang menonjol adalah land-baw, tumbuh subur di pinggiran sungai dan lereng bukit. Air lateks dari pohon land-baw mampu mengisi setengah dari sebuah tempurung kelapa besar, setara dengan 0,3 kilogram.
Kisah menarik juga melingkupi jenis land-baw ini yang berhasil ditanam oleh orang Dayak di perkebunan kompeni. Saat zaman Rubbercultuur di Hindia Belanda, banyak penduduk lokal dipekerjakan di perkebunan karet. Namun, praa harus melewati pemeriksaan ketat sebelum masuk perkebunan, untuk mencegah mereka membawa barang-barang ilegal. Beberapa di antara mereka menemukan cara cerdik, menyelundupkan biji karet dalam kantong celana depan, lolos dari pengawasan.
Biji karet yang diselundupkan ini akhirnya menjadi bibit unggulan yang merambah seluruh Borneo. Wilayah Sekadau juga tidak terlewatkan dalam perjalanan kisah karet ini. Sekadau, sebuah kerajaan yang telah bertahan selama hampir empat abad, muncul dalam catatan sejarah ketika kompeni Belanda memasuki wilayahnya pada sekitar tahun 1830.
Sungguh menakjubkan melihat bagaimana sehelai kisah pohon karet membawa kita merenung dalam jejak waktu. Dari getahnya yang mengalir putih hingga kapal Nirub yang mengangkut kepingan kehidupan, semua itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari cerita panjang manusia Dayak dan tanah Borneo. (bersambung)