Menikmati Dongeng Ninabobo The Headhunters of Borneo
Sebagai "dongeng nina bobo" buku ini berguna. Namun, sebagai karya ilmiah, ia tak tidak kuat dasarnya. Hanya imaginasi penulis, memandang Dayak dengan sudut orang Barat.
The Headhunters of Borneo telah menjadi sumber awal yang memainkan peran dalam pembentukan persepsi dan stereotipe yang salah tentang suku Dayak sebagai suku pengayau. Buku ini, meskipun memberikan beberapa informasi yang benar, sekaligus mengandung banyak kesalahan dan penyederhanaan yang berlebihan. Penekanan pada praktik pengayauan dalam buku ini telah memberikan kontribusi signifikan terhadap persepsi yang tidak akurat tentang suku Dayak di kalangan orang luar.
Penting untuk diakui bahwa pandangan ini tidak mencerminkan kehidupan dan budaya yang kompleks dari suku Dayak. Suku Dayak memiliki keberagaman budaya yang kaya, dengan tradisi, kepercayaan, dan praktik-praktik yang jauh lebih kompleks daripada gambaran yang diberikan oleh buku tersebut. Oleh karena itu, sangat penting untuk memahami dan mengevaluasi informasi tentang suku-suku tertentu dengan kritis, serta memberikan penghormatan yang pantas terhadap keberagaman dan kompleksitas budaya mereka.
Seiring dengan perkembangan penelitian etnografi yang lebih mendalam dan pemahaman yang lebih akurat tentang suku-suku Kalimantan, termasuk suku Dayak, kita dapat melihat melampaui stereotipe dan memahami nuansa yang lebih mendalam dari kehidupan dan budaya mereka.
Buku ini menggambarkan dengan rinci artefak asli penduduk pribumi, akomodasi tradisional, dan pakaian khas mereka, sehingga kemungkinan besar juga telah berkontribusi dan mempertegas citra populer Kalimantan sebagai tempat yang dihuni oleh suku-suku pemanah kepala yang liar dan wanita-wanita dengan pakaian dada terbuka.
Karya ini memberikan catatan sejarah pertama yang sangat berharga tentang Kalimantan, sebuah pulau yang kaya budaya dan sejarahnya, dan keberadaannya masih relevan hingga lebih dari 100 tahun setelah pertama kali diterbitkan. Melalui tulisan ini, kita dapat melihat bagaimana pandangan Eropa tentang Kalimantan pada masa itu, yang dipengaruhi oleh eksotisme dan ketertarikan terhadap hal-hal yang misterius dan tak dikenal.
Buku ini diperkaya oleh 30 piringan berwarna yang memberikan panduan visual yang berharga tentang kehidupan masyarakat setempat, pakaian yang mereka kenakan sehari-hari, jenis akomodasi yang mereka tempati, dan cara hidup mereka secara keseluruhan. Visualisasi ini memberikan gambaran lebih jelas tentang keanekaragaman budaya dan gaya hidup suku-suku Kalimantan pada masa itu.
Pada tahun 1879, seorang penjelajah bernama Carl Bock, atas komisi dari Yang Mulia Van Lansberge, Gubernur-Jenderal Hindia Belanda, menjalani perjalanan mengembara melalui pedalaman Kalimantan Tenggara. Pada tahun 1881, hasil pengamatannya yang sedikit sensasional tentang perjalanan dari Tangaroeng ke Bandjermasin, menempuh jarak lebih dari 700 mil, diabadikan dalam bentuk laporan. Laporan ini mencakup temuannya tentang praktik kanibalisme di antara suku Dayak, serta upayanya yang berlarut-larut dalam mencari suku pria berekor, sebuah cerita yang konon ia dengar.
Carl Alfred Bock (1849-1932) lahir di Denmark dari orangtua Norwegia. Pada usia yang masih muda, tepatnya 19 tahun, ia memutuskan untuk mengejar karir di bidang sejarah alam dan berangkat ke London.
Pada awal Agustus 1878, dalam perjalanan pengumpulan spesimen pertamanya untuk Zoological Society di London, ia menemukan dirinya berada di atas kapal uap Belanda yang menuju Batavia ke Padang. Tak lama setelah itu, ia ditugaskan untuk menjelajahi pedalaman Kalimantan Tenggara, dan temuannya diabadikan dalam bahasa Inggris sebagai "The Headhunters of Borneo". Informasi berharga yang ia bawa pulang dari petualangannya memberikan wawasan baru tentang Kalimantan yang belum pernah terungkap sebelumnya.
Pustaka ini berdampak secara kumulatif dan signifikan terhadap persepsi tentang suku Dayak. Karena keterbatasan literasi dan kemahiran menulis pada zaman itu, Bock menjadi salah satu sumber utama informasi mengenai suku-suku Kalimantan, terutama suku Dayak. Dalam bukunya, Bock menggambarkan praktik pengayauan yang menjadi ciri khas suku Dayak.
Namun, perlu diingat bahwa buku ini telah membangun citra yang tidak seimbang tentang suku Dayak. Meskipun sebagian aspek yang dijelaskan oleh Bock benar, namun sebagian besar gambaran yang dibangun oleh buku tersebut adalah keliru. Bock hanya memiliki pengetahuan terbatas tentang salah satu dari lima mitos pengayauan dalam budaya Dayak, seperti yang kemudian diteliti dan ditulis oleh Lontaan (1975) dan Masri (2010). Keterbatasan informasi dan konteks pada zamannya menyebabkan gambaran yang tidak akurat terbentuk.
Dengan demikian, kritik terhadap buku ini dapat dikemukakan bahwa meskipun memiliki nilai sejarah dan etnografis, buku ini tidak memberikan gambaran yang sepenuhnya akurat tentang kehidupan dan budaya suku Dayak. Seiring perkembangan penelitian dan pemahaman yang lebih mendalam tentang budaya Dayak, interpretasi mengenai informasi dalam buku ini juga perlu dinilai dengan kritis.
Dongeng Ninabobo
"The Headhunters of Borneo" mungkin dapat dianggap sebagai jenis "dongeng nina bobo" atau narasi yang menghibur, tetapi ketika dievaluasi sebagai karya ilmiah yang mempresentasikan fakta yang akurat dan mendalam tentang suku Dayak, buku ini menunjukkan kelemahan yang signifikan. Meskipun memiliki nilai sejarah sebagai catatan dari zamannya, buku ini memiliki keterbatasan dalam memberikan pemahaman yang mendalam tentang kehidupan dan budaya suku Dayak.
Karya ini mewakili pandangan seorang penulis Barat yang mencoba mengartikulasikan pengalaman dan observasinya dengan sudut pandang dan latar belakang budaya yang berbeda. Keterbatasan informasi, persepsi terbatas, dan interpretasi yang biasa pada masa itu dapat menyebabkan buku ini menggambarkan suku Dayak dengan cara yang sangat disederhanakan dan mungkin kurang akurat.
Penting untuk selalu memiliki kritis dalam mengevaluasi karya-karya seperti ini, mengakui bahwa buku ini mungkin lebih cocok sebagai cerita hiburan atau sebagai contoh bagaimana persepsi Eropa terhadap budaya non-Eropa dapat terdistorsi.
Sementara itu, untuk memahami budaya dan kehidupan suku-suku seperti Dayak dengan lebih mendalam dan akurat, kita harus mengandalkan penelitian etnografis dan literatur yang lebih kontemporer dan berdasarkan pemahaman yang lebih baik.
Makanya: Dayak wajib menulis dari dalam!*)