Ngayau : Esensi dan Evolusinya 4 Kali dalam Sejarah Suku Bangsa Dayak

ngayau, tradisi, adat, Dayak, Iban, piala, skull, evolusi, pembajakan, tenaga terampil, bujang
Dinding depan rumah Dayak tempo doeloe pra tahun 1970an: hiasan pajangan hasil kayau. Piala kemenangan zaman now.


PATIH JAGA PATI : Tradisi "ngayau" dalam budaya suku Dayak adalah praktik yang sering kali disalahpahami oleh banyak orang di luar komunitas Dayak. 

Ngayau sering dipandang sebagai tindakan kekerasan atau perburuan kepala musuh semata. Padahal, esensi ngayau bukan sebatas indera manusia menangkapnya. Mengapa? Sebab "ngayau" memiliki makna yang lebih dalam dan kompleks dalam kehidupan suku Dayak.

Ngayau yang kerap disalah mengerti

Pertama-tama, penting untuk memahami bahwa tradisi "ngayau" bukanlah semata-mata tentang mencari kepala musuh sebagai tanda bukti kekuatan. 

Tradisi ngayau pertama dan utama bertujuan untuk mempertahankan wilayah dan membela kehormatan klan serta nama baik suku bangsa Dayak. Ini adalah bagian integral dari sistem pertahanan dan pemeliharaan identitas budaya mereka.

Dalam budaya Dayak yang beragam, terdiri dari berbagai stammenras dan subsuku, pelaksanaan tradisi "ngayau" dapat bervariasi. Namun, esensi dari tradisi ini adalah menjaga wilayah mereka dari ancaman luar dan memastikan bahwa kehormatan suku dan keluarga mereka tetap terjaga.

Sayangnya, sering kali terjadi pemahaman keliru tentang tradisi "ngayau" di luar komunitas Dayak. Hal ini mungkin disebabkan oleh ketidakpahaman terhadap makna budaya yang lebih dalam di balik tindakan atau ritual ini. Oleh karena itu, sangat penting untuk menghormati dan menghargai budaya dan tradisi suku bangsa Dayak dengan lebih baik.

Baca Orang Dayak Yang Tidak Berladang, Tidak Berhak Mengadakan Gawai

Seiring dengan modernisasi dan perubahan sosial, tradisi "ngayau" mungkin telah mengalami perubahan dalam pelaksanaannya. Namun, nilai-nilai dan identitas budaya Dayak tetap menjadi bagian integral dari kehidupan mereka. Pelestarian budaya Dayak menjadi sangat penting untuk menjaga kekayaan warisan budaya ini di tengah perubahan dunia yang terus berlangsung.

Tradisi "ngayau" dalam budaya suku Dayak adalah contoh nyata bagaimana budaya dan tradisi masyarakat dapat memiliki makna yang mendalam dan kompleks di balik praktik-praktik mereka. Ngayau ini adalah bagian penting dari identitas dan keberanian suku bangsa Dayak dalam menjaga wilayah dan nama baik mereka, serta warisan budaya yang mereka warisi dari generasi ke generasi.

Ngayau menurut Masri (2017) di bawah judul "Ngayau Masa ke Masa: Dari Penggal kepala Hingga Membajak Tenaga Kerja Terampil" dalam buku ini halaman 436 - 440 telah berevolusi 4 kali. 

  1. Head hunter yang berarti memenggal kepala (musuh), mempertahankan wilayah, suku, klan. Bisa ofensif bisa defensif dalam ujudnya, dan hanya ini yang dipopulerkan Bock.
  2. Dalam dunia olah raga (head hunter) mengumpulkan piala sebanyak-banyaknya.
  3. Dunia SDM stratejik: membajak tenaga kerja terampil di bidang usaha/ organisasi sejenis.ini: Berperang melawan keterbelakangan, kebodohan, kemiskinan, segala bentuk yang menjadi hambatan kemajuan/peradaban Dayak.
  4. Ngayau di era modern adalah: Sigap, cekatan, awas dan waspada, terampil, selalu membawa alat untuk hidup, presisi, bijaksana, pandai memilah dan memilih sasaran. Evolusi yang pertama dan keempat: Alat berubah sesuai perkembangan zaman, sedangkan makna: tidak. Yakni bagaimana orang Dayak survive dan menjadi tuan di negerinya sendiri.

Ngayau adalah sebuah upacara tradisional yang dikenal oleh suku Dayak di Pulau Kalimantan, terutama oleh suku Dayak Iban di Kalimantan Barat dan Malaysia (Sarawak). Bagi suku Dayak Iban, Ngayau memiliki makna sejarah yang berhubungan dengan perang dan pengumpulan kepala musuh sebagai simbol kekuatan dan keberanian.

Baca Panglima Dayak Sejati Dengan 9 Kriteria

Tradisi Ngayau juga dikenal sebagai perang berburu kepala, yang dapat dilakukan oleh sekelompok orang dalam "Kayau Banyak" atau oleh individu yang disebut "Ngayau Anak." Orang yang berhasil mengumpulkan kepala musuh dihormati sebagai pahlawan perang yang disebut "Bujang Berani" atau ksatria.

Awalnya, Adat Ngayau diperkenalkan oleh Urang Libau Lendau Dibiau Takang Isang, yang pada saat itu merupakan kepala kampung yang dihormati dengan gelar "Keling Gerasi Nading" atau Keling yang pemberani. Gelar tersebut diberikan oleh Tetua Iban bernama Merdan Tuai Iban.

Persiapan upacara melibatkan berbagai bahan seperti piring pulut, tempe, rendai, telur ayam, sirih, gambir, rokok, kapur pinang, buah pinang, tembakau, ketupat, beras, jalong cubit, benang, dan utai bekaki. Selain itu, ada juga peralatan perang seperti sangkok, terabi, tersang, mandau, dan bendera berwarna merah, hijau, kuning, hitam, dan putih, masing-masing dengan makna tertentu.

Proses upacara dimulai dengan persiapan sesajen dan perbekalan untuk upacara, serta mempersiapkan peralatan perang. Wanita mempersiapkan pedara, sementara pria mempersiapkan peralatan perang dan mencari makanan. Para ksatria perang duduk berbaris, masing-masing dihadapkan dengan pedara yang terdiri dari 7 piring sebagai simbol langit.

Mantra dibacakan oleh kepala kampung, dan ayam diibaskan di atas kepala ksatria sebanyak tiga kali. Kepala kampung dan ketua adat melakukan upacara untuk memanggil roh nenek moyang sebagai pelindung dalam perang. Tumpe (padi yang disangrai) juga diambil sebagai simbol hati nurani yang jujur dan luhur.

Setelah persiapan selesai, para ksatria perang turun ke medan perang dengan korban seekor babi, mengikuti strategi untuk memotong kepala musuh dan merayakan kemenangan. Hasil perang diletakkan di depan tangga menuju rumah Betang sambil berbagi cerita pengalaman mereka selama perang.

Wanita dan pawang turun dari rumah Betang untuk mengantar sesajen sebagai tanda terima kasih kepada orang panggau (kayangan) yang telah membantu dalam perang. Sesajen ini harus dijaga selama 3 hari tanpa gangguan karena bisa mendatangkan musibah.

Setelah mendengar bunyi alat musik, ksatria perang diizinkan untuk naik ke rumah Betang dengan upacara khusus, diikuti dengan mengibaskan ayam, mencabut bulu ayam, memotong babi, dan memoleskan darahnya di dahi ksatria. Mereka kemudian memasuki rumah Betang dengan minuman tuak untuk memberi semangat.

Di dalam rumah Betang, sesajen disiapkan, dan ayam diibaskan kepada ksatria perang. Darah ayam dioleskan di kepala musuh yang telah dipotong, dan buah kelapa digunakan sebagai simbol. 

Para ksatria perang menari bersama wanita sambil mengelilingi tiang ranjai sebagai ungkapan syukur kepada orang panggau (kayangan) yang telah membantu dalam perang serta mengelilingi rumah Betang.

Setelah melewati serangkaian persiapan dan ritus, upacara Ngayau mencapai puncaknya. Saat ksatria perang diperbolehkan naik ke rumah Betang, suasana penuh antusiasme dan semangat. Mereka telah bersiap dengan baik, dan saat itu adalah saat yang ditunggu-tunggu untuk membuktikan keberanian mereka di medan perang.

Kepala kampung memimpin upacara dengan membacakan mantra khusus untuk memberkati peralatan perang mereka. Peralatan yang mereka miliki, seperti pedang, perisai, dan mandau, adalah warisan nenek moyang mereka yang dianggap memiliki kekuatan magis. Mereka percaya bahwa peralatan ini akan membawa perlindungan dan keberuntungan dalam pertempuran yang akan datang.

Baca Kekuatan Belarasa Dan Adat-Budaya Dayak

Setelah pembacaan mantra, kepala kampung memotong seekor ayam sebagai tanda pengorbanan. Darah ayam ini diambil dan digunakan untuk mengolesi kaki dan dahi para ksatria perang. Ini adalah tindakan simbolis yang diyakini akan memberikan keberkahan dan perlindungan di medan perang. Bulu ayam yang dicabut juga memiliki makna khusus; mereka dioleskan di dahi para tamu yang hadir sebagai tanda perlindungan dari roh-roh jahat.

Persiapan Menuju Medan Perang

Setelah mempersiapkan segala sesuatu di dalam rumah Betang, para ksatria perang turun ke medan perang dengan penuh semangat. Mereka membawa satu ekor babi sebagai korban untuk orang panggau (kayangan), yang mereka percayai akan ikut bersama mereka dan memberikan bantuan dalam pertempuran. Sebelum berangkat, mereka merencanakan strategi mereka dengan cermat, karena memotong kepala musuh adalah tugas utama mereka.

Ktika pertempuran dimulai, ksatria perang menunjukkan keberanian dan keterampilan mereka. Pertempuran yang sengit akhirnya dimenangkan, dan kepala musuh yang telah dipotong dianggap sebagai hasil kemenangan mereka. Kepala musuh ini digambarkan dengan menggunakan kelapa tua atau tengkorak manusia, sebagai simbol kemenangan mereka atas musuh.

Kemenangan dan Kembali ke Rumah Betang
Setelah berhasil memotong kepala musuh, para ksatria perang meluapkan kegembiraan. Mereka menari-nari dengan penuh semangat, mengenang pengalaman mereka selama pertempuran. Hasil perang, seperti kepala musuh dan kelapa tua, ditempatkan di depan tangga menuju rumah Betang.

Di saat ini, suasana penuh kebersamaan terasa begitu kuat. Para ksatria perang berbagi cerita dan pengalaman mereka, membangun ikatan persaudaraan yang lebih dalam. Kehadiran wanita dan pawang dalam upacara ini menunjukkan solidaritas dalam masyarakat Dayak Iban, di mana semua anggota komunitas turut berpartisipasi dalam perayaan kemenangan ini.

Setelah upacara selesai, sesajen yang disiapkan untuk menghormati orang panggau (kayangan) ditempatkan dengan hati-hati. Ini adalah momen penting di mana mereka mengungkapkan rasa syukur dan penghormatan mereka kepada entitas spiritual yang dianggap telah membantu mereka dalam perang. 

Sesajen ini dijaga dengan seksama selama tiga hari, sebagai bentuk penghormatan dan kepercayaan kepada roh-roh nenek moyang.

Notokng
Di kalangan Dayak Jangkang, rumpun Bidayuh, pulang menang dari ngayau para kesatria disambut luar biasa meriah. 

Para bujang diberi sesajian dari tangan halus para wanita, disuguhkan tuak, diberi ajan (lemang), dan disambut dengan tari-tarian. Sedemikian rupa, sehingga menimbulkan jiwa dan spirit kewiraan di kalangan kaum muda untuk tetap berani dan senantiasa menang dalam ngayau karena akan disambut dengan upacara dan pesta meriah. 

Penutupan ngayau adalah pesta "notokng". Yakni menarikan kepala musuh yang berhasil dikayau, yang dalam bahasa Jangkang disebut: naja baa'

Tentu saja, itu tradisi di masa lalu. Kini ngayau telah berevolusi. Meski semangatnya tetap: invictus, wira, tak terkalahkan!
(Rangkaya Bada)


LihatTutupKomentar
Cancel