Manusia Dayak dan Kawasan Hijau Borneo

Post-truth, Dayak, populasi, 8 juta, hutan adat, warisan, nenek moyang, hidup, Borneo, post-truth , dilawan

Kawasan merah dan hijau Borneo. Hijau adalah pemukiman dan hutan adat Dayak. Sedangkan merah kawasan industri, pertambangan, pemukiman, perkebunan, dan perkebunan oleh perusahaan.

PATIH JAGA PATI : Jika mengamati peta Pulau Borneo saat ini, kita dapat dengan jelas membedakan dua jenis wilayah yang sangat penting. 

Kawasan hijau Kalimantan dihuni orang Dayak

Kawasan hijau, yang mencakup pemukiman, tempat tinggal, serta hutan adat masyarakat Dayak, adalah representasi dari hubungan harmonis antara manusia dan alam. 

Baca Samuel Oton Sidin| Uskup Sintang Peraih Kalpataru

Masyarakat Dayak, yang total penduduknya lebih dari 8 juta  telah menjaga hutan ini secara turun-temurun, menjadikannya rumah mereka dan tempat hidup yang utama. 

Kawasan hijau ini juga memiliki nilai ekologis yang sangat tinggi, dengan berbagai spesies dan ekosistem yang terjaga.

Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara merupakan kawasan hijau Borneo yang dihuni 95% orang Dayak: mewarisi tradisi menjaga tanah dan bumi warisan leluhur.

Di sisi lain, kawasan merah mencakup areal pertambangan, industri, dan perkebunan. Wilayah ini sering menjadi fokus utama deforestasi dan kerusakan lingkungan di Pulau Borneo. 

Aktivitas pertambangan, industri, dan perkebunan sering berkontribusi pada hilangnya hutan dan perubahan iklim yang merugikan. Oleh karena itu, penting untuk memantau, mengatur, dan membatasi aktivitas di kawasan merah ini untuk melindungi ekosistem alami Borneo.

Baca Dr. Masiun Mengungkap Hasil Penelitian Valuasi Wilayah Adat Taman Sunsong

Pemahaman yang jelas tentang perbedaan antara kawasan hijau dan kawasan merah ini memungkinkan kita untuk mengidentifikasi tantangan lingkungan yang perlu diatasi dan mengapresiasi peran masyarakat Dayak dalam menjaga hutan adat dan alam Borneo. 

Selain itu, hal ini juga menjadi dasar untuk mengembangkan kebijakan dan tindakan yang mendukung pelestarian lingkungan di Pulau Borneo.

Pulau Borneo memang memiliki sejumlah hutan yang masih asri dan alami, tetapi persentase pastinya dapat bervariasi tergantung pada sumber data dan definisi yang digunakan. 

Kawasan 1/5 hijau Borneo adalah tempat tinggal dan tanah adat orang Dayak sebagai pemangku dan pewaris sah pulau terbesat ke-3 dunia. Karena itu, Tuduhan yang menyalahkan masyarakat Dayak secara umum atas deforestasi dan kerusakan lingkungan di Pulau Borneo adalah tidak tepat dan tidak adil. 

Namun, perkiraan bahwa sekitar 20% atau 1/5 dari luas Pulau Borneo adalah "wilayah hijau" yang masih alami dan asri dapat memberikan gambaran umum tentang tingkat pelestarian alam di pulau tersebut.

Penting untuk diingat bahwa pulau Borneo terdiri dari tiga negara yang berbeda: Indonesia, Malaysia, dan Brunei. Setiap negara memiliki kebijakan dan upaya konservasi alamnya sendiri, dan tingkat pelestarian alam di setiap wilayah dapat bervariasi.

Dayak menjaga ekosistem Borneo

Upaya pelestarian alam dan pengelolaan hutan yang berkelanjutan adalah perhatian penting untuk menjaga ekosistem Borneo dan keanekaragaman hayati yang ada di sana. Hal ini diperlukan untuk menjaga keseimbangan lingkungan, perlindungan spesies yang terancam punah, serta sumber daya alam yang berkelanjutan untuk masa depan.

Seperti kita ketahui bahwa luas Pulau Borneo adalah 743.330 km². Untuk menghitung "wilayah hijau" yang masih asri dan alami, kita dapat menggunakan perbandingan 1/5 dari total luas Borneo. 

Ini berarti bahwa hanya sekitar 20% dari luas total Pulau Borneo yang masih mempertahankan keadaan alaminya. Dengan begitu, dari total luas 743.330 km², hanya tinggal 148.666 km² yang merupakan "wilayah hijau" yang belum terpengaruh oleh aktivitas manusia dan masih tetap dalam kondisi alaminya.

Keaslian dan keasrian alam di Sanggau.

Fakta bahwa sebagian besar kawasan hijau di Pulau Borneo dihuni oleh masyarakat Dayak dan merupakan Hutan Adat mereka adalah hal yang sangat penting. Ini menunjukkan peran penting masyarakat Dayak dalam pelestarian alam dan warisan nenek moyang mereka. 

Dayak tidak hanya menjaga kelestarian alam, tetapi juga melestarikan budaya dan tradisi mereka yang erat terkait dengan lingkungan sekitar.

Pengelolaan hutan adat oleh masyarakat Dayak dapat membantu dalam menjaga ekosistem, melindungi spesies yang terancam punah, dan mempromosikan pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Ini juga menunjukkan hubungan yang mendalam antara manusia dan alam serta komitmen mereka dalam melindungi alam secara turun-temurun.

Baca Orang Dayak Yang Tidak Berladang, Tidak Berhak Mengadakan Gawai

Penting untuk mengakui dan menghormati peran masyarakat adat seperti masyarakat Dayak dalam pelestarian alam dan menjaga keseimbangan ekosistem di Pulau Borneo. Upaya kolaboratif dengan komunitas seperti ini dapat menjadi kunci keberlanjutan lingkungan di masa depan.

Keji dan tidak masuk akal

Tuduhan yang menyalahkan masyarakat Dayak secara umum atas deforestasi dan kerusakan lingkungan di Pulau Borneo adalah tidak tepat dan tidak adil. 

Fakta menunjukkan bahwa sebagian besar deforestasi dan kerusakan lingkungan di pulau ini disebabkan oleh perusahaan-perusahaan pertambangan, industri, serta aktivitas manusia yang lebih besar. Masyarakat Dayak, seperti banyak kelompok masyarakat adat di seluruh dunia, sering kali menjadi korban dalam konteks ini.

"Post-truth" adalah istilah yang merujuk pada situasi di mana emosi dan pandangan pribadi sering kali lebih memengaruhi pendapat dan persepsi masyarakat daripada fakta dan bukti ilmiah. Ini adalah masalah yang seringkali muncul dalam diskusi mengenai isu-isu lingkungan dan kontroversial terkait deforestasi.

Kawasan pemukiman orang Dayak di Sintang, Kalimantan Barat.

Penting untuk memahami bahwa kebijakan, regulasi, dan upaya konservasi yang baik perlu ditujukan kepada perusahaan dan industri yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan. 

Baca Potensi Sumber Daya Alam Sandai

Masyarakat adat, seperti masyarakat Dayak, dapat berperan sebagai pelindung alam dan memiliki pengetahuan yang berharga dalam pelestarian lingkungan. 

Dalam konteks ini, kolaborasi dan dukungan bagi masyarakat adat dan upaya untuk mengatasi penyebab utama deforestasi lebih penting daripada menyalahkan mereka secara tidak adil. 

Post-truth yang menuduh Dayak: harus dilawan dengan data dan fakta ilimah

Tuduhan terhadap peladang tradisional, yang menggarap lahan sendiri dan menerapkan teknik budidaya yang telah dilakukan oleh masyarakat Dayak sejak ribuan tahun lampau, dapat dianggap sebagai fenomena post-truth yang membutuhkan penanganan serius dengan menggunakan data dan fakta yang obyektif. Dayak sering kali dijadikan kambing hitam ketika terjadi asap, kebakaran hutan, atau kerusakan lingkungan.

Di era post-truth seperti sekarang ini, para cendekiawan, peneliti, dan penulis Dayak memiliki tanggung jawab untuk memberikan kontra terhadap tuduhan mengenai kerusakan lingkungan yang disalahkan kepada masyarakat Dayak di Borneo. Hal ini perlu dilakukan dengan menyajikan data dan fakta yang dapat memberikan gambaran lengkap dan akurat terkait praktik pertanian dan keberlanjutan lingkungan yang diterapkan oleh masyarakat Dayak.

Penting untuk menyoroti bahwa praktik pertanian tradisional yang diterapkan oleh masyarakat Dayak memiliki warisan budaya yang kuat dan telah terbukti berkelanjutan selama ribuan tahun. Metode ini melibatkan pemahaman mendalam tentang ekosistem lokal, siklus tanam-tanah, dan pemeliharaan keanekaragaman hayati. Oleh karena itu, dalam menghadapi tuduhan negatif terkait kebakaran hutan atau kerusakan lingkungan, penting bagi para cendekiawan Dayak untuk memberikan gambaran yang jelas dan berbasis data tentang praktik budidaya yang mereka terapkan.

Selain itu, mengumpulkan dan menyajikan data yang meyakinkan mengenai peran masyarakat Dayak dalam menjaga keberlanjutan lingkungan juga dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam kepada masyarakat umum. Ini mencakup informasi mengenai inisiatif konservasi, partisipasi dalam program pelestarian hutan, serta usaha-usaha positif lainnya yang dilakukan oleh masyarakat Dayak untuk melestarikan alam.

Dengan menunjukkan bahwa masyarakat Dayak tidak hanya menjadi pihak yang disalahkan, tetapi juga aktor penting dalam pelestarian lingkungan, para cendekiawan Dayak dapat memainkan peran kunci dalam memerangi stereotip dan membentuk narasi yang lebih akurat. 

Pendekatan berbasis data dan argumen  ini dapat menjadi alat efektif dalam menghadapi era post-truth, di mana informasi seringkali terdistorsi atau disalahartikan.

(Rangkaya Bada)

LihatTutupKomentar
Cancel