Kuasa Budaya Dayak
PATIH JAGA PATI : Dayak, sebagai sukubangsa asli Borneo, telah menjadi pengetahuan umum yang tak dapat disangkal. Dayak bukan dari mana pun. Tetapi dari sini dan dari tempat ini. Uji karbon di Gua Niah, Miri, Sarawak - Malaysia menunjukkan bahwa sukubangsa pemangku bumi Varuna-dvipa. nama Borneo era pengaruh Hindu-India, telah ada sejak 40.000 tahun yang lampau.
Dengan populasi hari ini 8 juta penduduk dunia di pulau terbesar ke-3 ini, keberadaan Dayak menyimpan kekayaan budaya yang tinggi. Suatu pengakuan yang telah merambah ke seluruh dunia. Dan tidak dapat disangkal lagi, menjadi sebuah aksioma dalam dunia ilmu bumi, etnologi, dan antropologi budaya.
Suku bangsa Dayak yang beragam tapi satu
Suku bangsa Dayak begitu menarik perhatian banyak orang untuk diteliti, dengan enam rumpun besar dan 405 subsuku, serta ratusan bahkan ribuan publikasi yang telah dipublikasikan. Namun, masih ada banyak aspek dari kehidupan mereka yang tetap menjadi terra incognita, sebuah wilayah belum terjamah yang penuh misteri.
Baca Dayak Tidak Dari Mana Pun, Melainkan Asli Borneo
Sebagaimana dikatakan oleh Kroeber dan Kluckhohn (1952), budaya memiliki tujuh dimensi. Terlepas dari sorotan kuat terhadap kuasa ekonomi dan politik, seringkali kuasa budaya diabaikan. Padahal, kuasa ini sangat mendasar dan berdaya dahsyat, meski kerap bekerja dalam ketenangan, tetapi mampu bertahan sepanjang zaman.
Pentingnya memahami dan menyadari "kuasa budaya"
Penting untuk memahami "kuasa budaya" ketika membicarakan masa depan suku Dayak, terutama jika Ibu Kota Nusantara (IKN) dipindahkan ke tengah Indonesia. Pertanyaannya adalah: bagaimana Dayak dan kebudayaannya akan berkembang di tempat baru tersebut.
Proses askripsi atau pemberian label pada suku atau golongan etnis adalah suatu fenomena interaksi sosial, bukan hasil isolasi.
Menurut Wee dan Lang, askripsi membutuhkan "kerja identitas" yang berfokus pada menghubungkan diri dengan penanda budaya lokal. Namun, faktor waktu dan sejarah dapat mengubah askripsi menjadi deskripsi, yakni sikap dan cara bertindak yang menjadi aturan.
Cultural ethnicity, menurut Parakitri, dapat berubah menjadi political ethnicity ketika kekuasaan menjadi motif utama dalam pergaulan sosial. Hal ini terlihat jelas di Indonesia, di mana sentimen etnis dikipasi dan cultural ethnicity berubah menjadi political ethnicity setelah satu dekade lebih.
Penting untuk belajar dari sejarah, khususnya ketika Ibukota RI tetap di tanah Jawa dan tidak membuat orang Jawa atau Sunda berubah menjadi suku lain. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan suatu etnis tidak selalu bergantung pada geografi, melainkan pada bagaimana mereka mengelola dan mempertahankan identitas budaya mereka.
Baca Sumpah Patih Jaga Pati: 3 Daulat Dayak Di Tanah Warisannya
Kekhawatiran akan punahnya budaya Dayak setelah IKNI pindah dapat diatasi dengan mengubah rintangan menjadi peluang. Adversity Quotient (AQ) orang Dayak, yang telah lama dimanjakan alam, perlu diasah dan ditingkatkan sesuai dengan kondisi saat ini. Mereka juga perlu mengembangkan kebiasaan menabung untuk memastikan keberlanjutan masa depan.
Sebagai orang tua, tugasnya adalah memberi arahan, semangat, dan mewarisi nilai-nilai luhur kepada generasi berikutnya. Meski tidak semua benih yang ditanam akan tumbuh, namun dengan terus menabur, pasti akan ada hasil. Kita tidak boleh berhenti menabur, karena apa yang mati, kerdil, subur, dan berbuah tergantung pada usaha, perawatan, harapan, dan doa.
Terakhir, perlu diingat bahwa kuasa budaya memiliki daya yang lebih dahsyat dibandingkan dengan kuasa-kuasa lainnya, termasuk ekonomi dan politik.
Dengan memahami dan memanfaatkan kuasa budaya ini, suku Dayak dapat membangun masa depan yang kuat dan berkelanjutan.
Kuasa budaya: harus tetap tinggal
Bumi boleh guncang dan langit bisa saja runtuh, namun budaya Dayak harus tinggal tetap" mencerminkan tekad kuat untuk menjaga warisan dan identitas mereka seiring berjalannya waktu.
Budaya Dayak tidak hanya menjadi cermin nilai-nilai yang dianut, kebiasaan, aturan, atribut, seni, dan cara berada (modus essendi) da cara hidup (modus vivendi) tetapi juga menjadi akar yang menghubungkan generasi-generasi masa lalu, kini, dan yang akan datang.
Slogan ini mengandung makna mendalam bahwa meskipun dihadapkan pada berbagai tantangan, seperti perubahan zaman, modernisasi, dan globalisasi, budaya Dayak tetap teguh dan tidak tergoyahkan. Keseimbangan antara mempertahankan tradisi dan beradaptasi dengan perubahan menjadi prinsip utama untuk menjaga keberlanjutan budaya mereka.
Mengapa Cina dan Jepang di mana mereka berada, kebudayaan dan bahasanya tetap terbawa, dan senantiasa hidup? Hal itu karena Cina dan Jepang mempertahankan adat, habitus, dan bahasa. Kita wajib belajar dari kedua bangsa besar ini, jika ingin menjadi suku bangsa yang besar pula.
Budaya Dayak menjadi pedoman moral yang kokoh dan titik acuan dalam menghadapi dinamika zaman. Sementara bumi mungkin guncang, dan langit mungkin runtuh dalam bentuk perubahan sosial, budaya Dayak menjadi batu ujian kekokohan karakter dan identitas mereka. Keinginan untuk memastikan bahwa nilai-nilai luhur dan kearifan lokal tetap terjaga melebihi segala bentuk gejolak di sekitar mereka.
Dalam kejadian bencana atau perubahan dramatis, budaya Dayak menjadi penjaga kestabilan dan keseimbangan sosial. Semangat untuk mempertahankan tradisi, kesolidan sosial, dan sikap saling mendukung memperkuat fondasi budaya Dayak sebagai kekuatan tak tergoyahkan.
Dengan menjunjung tinggi mantra ini, masyarakat Dayak mengirimkan pesan kuat bahwa mereka adalah penjaga budaya yang tak kenal lelah. Budaya Dayak bukan hanya milik masa lalu, melainkan warisan berharga yang terus mengalir dari generasi ke generasi, mengukir sejarah yang menginspirasi dan menguatkan hati.
Belajar dari Cina dan Jepang
Cina dan Jepang yang tetap kuat di tengah perubahan zaman menjadi bukti inspiratif tentang betapa pentingnya mempertahankan adat, habitus, dan bahasa sebagai fondasi keberlanjutan sebuah suku bangsa. Kedua bangsa besar ini telah menunjukkan komitmen yang luar biasa terhadap warisan budaya mereka, dan ada beberapa pelajaran berharga yang dapat diambil oleh masyarakat lain yang ingin tumbuh menjadi suku bangsa yang besar.
Baca Gelegar Sumpah Patih Wilyo
Cina, sebagai salah satu peradaban tertua di dunia, memiliki kekayaan sejarah dan budaya yang sangat mendalam. Meskipun mengalami berbagai perubahan politik, sosial, dan ekonomi, Cina berhasil mempertahankan esensi budayanya. Mereka menjaga adat istiadat, ritual, dan nilai-nilai filosofis yang menjadi identitas unik mereka. Bahasa Mandarin yang kuno tetap hidup dan menjadi simbol persatuan di antara keragaman etnis Cina. Cina mengajarkan kita bahwa menghargai dan merawat akar budaya adalah kunci untuk tetap kokoh di tengah arus perubahan zaman.
Jepang dengan keunikan budaya samurainya telah menjadi inspirasi bagi banyak orang di seluruh dunia. Mereka tidak hanya mempertahankan bahasa Jepang, tetapi juga melindungi warisan tradisional seperti seni bela diri, upacara teh, dan festival tradisional. Jepang memiliki kemampuan untuk menggabungkan kecanggihan teknologi modern dengan nilai-nilai tradisional mereka. Mereka menunjukkan bahwa modernisasi tidak selalu harus mengorbankan identitas kultural.
Kunci keberhasilan Cina dan Jepang dalam mempertahankan kebudayaan mereka adalah kesadaran akan pentingnya mengajarkan dan mewariskan nilai-nilai tersebut kepada generasi muda. Pendidikan tradisional, penghargaan terhadap leluhur, dan pelestarian warisan budaya menjadi fokus penting dalam pembentukan identitas mereka.
Menjadi suku bangsa yang besar
Masyarakat lain, terutama Dayak, dapat belajar bahwa menjadi suku bangsa yang besar tidak hanya berkaitan dengan pencapaian dalam bidang ekonomi atau politik, tetapi juga dengan kemampuan untuk merawat dan menghormati akar budaya.
Merupakan tanggung jawab bersama untuk menjaga adat, habitus, dan bahasa, sehingga suatu suku bangsa dapat terus berkembang tanpa kehilangan jati dirinya di tengah dinamika dunia modern.
Dengan belajar dari Cina dan Jepang, masyarakat lain di seluruh dunia dapat menemukan inspirasi dalam upaya mempertahankan dan mengembangkan keberagaman budaya mereka sendiri.
(Masri Sareb Putra)