Ladang Orang Dayak dan Implementasi Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat Nomor 1 Tahun 2022
|
PATIH JAGA PATI : Tuduhan Karhutla dan bencana asap di Kalimantan disebabkan para peladang, adalah post truth, selain keji.
Praktik kriminalisasi terhadap para peladang tradisoonal, seperti terjadi di Sintang; wajib dibela dan ditolak sebagai salah satu sikap dan tindakan mencela dan menganggap bahwa selama ini budaya Dayak ada yang salah.
Hanya melalui upaya tanpa kenal lelah, dan panjang prosesnnya, para peladang tradisional di Kalimantan, khususnya Kalimantan Barat, kini dapat merasa lega.
Pengakuan terhadap adat budaya dan nilai-nilai tradisi yang telah ada sejak "zaman semula jadi" telah diakui oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Kalimantan Barat.
Pengakuan dari Pemerintah Daerah Kalimantan Barat
Pemerintah Daerah Kalimantan Barat memberikan pengakuan, sekaligus peneguhan, kepada masyarakat setempat dalam mempertahankan identitas budaya.
Baca Siapa Yang Merusak Hutan Kalimantan?
Sebelumnya, praktik berladang di Sintang menghadapi ancaman hukuman penjara, tetapi masyarakat Dayak dengan tegas menentangnya. Mereka melihat larangan ini melanggar kodrat alam dan warisan leluhur mereka, mengakibatkan penolakan keras terhadap langkah tersebut.
Masyarakat Dayak menganggap larangan berladang sebagai penghinaan terhadap nenek moyang mereka yang telah mewariskan tradisi ini. Yakobus Kumis dari Dewan Adat Dayak Nasional menegaskan bahwa mencegah praktik berladang juga berarti meragukan warisan dan hak sah mereka atas tanah Borneo.
Masyarakat adat Dayak di Sintang tidak tinggal diam. Mereka berjuang melawan upaya penuntutan terhadap praktik berladang, terutama jika melibatkan pembakaran lahan. Tekanan dari masyarakat Dayak menjadi faktor penting dalam membentuk langkah selanjutnya.
Baca Manusia Dayak Dan Kawasan Hijau Borneo
Tanggapan atas aspirasi masyarakat Dayak didengar. Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmiji, mengeluarkan respon yang kuat dalam bentuk "Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pembukaan Lahan Perladangan Berbasis Kearifan Lokal".
Langkah diundangkannya peraturan ini menunjukkan komitmen Negara untuk menjaga keseimbangan antara kearifan lokal dan kebijakan yang lebih luas.
Perjuangan dan kerja keras para aktivis dan peladang
Keadilan sering tidak diberi, melainkan diperjuangkan dengan mengucurkan keringat, bahkan darah.
Langkah-langkah ini tidak datang dengan sendirinya, tetapi melalui upaya bersama untuk menghormati tradisi sambil menjaga keberlanjutan alam dan budaya. Praktik berladang di Kalimantan Barat menjadi contoh konkret bagaimana hasil dari perjuangan dapat membawa dampak positif yang berkelanjutan.
Pada pertengahan Agustus 2023 hingga minggu ke-3 adalah musim orang Dayak membakar ladang. Namun, tahun lalu tidak ada pristiwa Kebakaran hutan dan lahan atau Karhutla.
Faktanya, tidak terjadi asap, apalagi Kebakaran hutan dan lahan atau Karhutla oleh para peladang. Dalam hal ini, tepatlah bahwa Hukum/perundang-undangan berfungsi meneguhkan/mengafirmasi praktik baik perikehidupan masyarakat.
Praktik kriminalisasi terhadap para peladang tradisoonal, seperti terjadi di Sintang; wajib dibela dan ditolak sebagai salah satu sikap dan tindakan mencela dan menganggap bahwa selama ini budaya Dayak ada yang salah.
Pada pertengahan Agustus, hingga minggu ke-3, lazimnya musim pembakaran ladang oleh orang Dayak tengah berlangsung.
Praktik ini telah menjadi bagian dari tradisi dan budaya mereka. Meskipun istilah "Kebakaran hutan dan lahan" atau "Karhutla" mencakup peristiwa terbakarnya hutan dan lahan baik secara alami maupun oleh tangan manusia.
Oleh sebab itu, Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat Nomor 1 Tahun 2022 bukan pemberian cuma-cuma melainkan: diperjuangkan dengan bertaruh nyawa dan harga diri.
Post truth dan tuduhan yang harus dilawan
Pada kenyataannya, saat ini tidak terdapat tanda-tanda asap atau Kebakaran hutan dan lahan yang disebabkan oleh para peladang. Maka, tuduhan Karhutla dan bencana asap di Kalimantan disebabkan para peladang, adalah: post truth. Yakni citraan/ tindakan yang dibangun dengan sengaja untuk menyesatkan.
Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat Nomor 1 Tahun 2022 adalah produk peraturan hukum dan perundang-undangan yang tepat dalam mengakui dan mengafirmasi praktik baik dalam kehidupan masyarakat, termasuk dalam hal ini.
Praktik pembakaran ladang oleh orang Dayak diatur dengan tepat dalam kerangka normatif yang memahami pentingnya menjaga kearifan lokal dan tradisi, sekaligus memastikan keselamatan dan keberlanjutan lingkungan.
Dengan demikian, musim pembakaran ladang oleh orang Dayak yang terjadi saat ini adalah bagian dari praktik budaya dan tradisi yang telah diakui oleh hukum dan perundang-undangan yang berlaku.
Keseimbangan antara nilai-nilai budaya dan keberlanjutan lingkungan tercermin dalam pendekatan yang diambil dalam mengelola praktik ini, memberikan contoh bagaimana kerangka hukum dapat mendukung dan memperkuat kehidupan masyarakat secara positif.
Ladang: Multidimensi, bukan hanya padi
Ladang bagi orang Dayak bukan sekadar tempat untuk menghasilkan padi, melainkan juga memiliki makna yang mendalam yang terjalin erat dengan kearifan lokal dan identitas mereka.Di balik produksi padi sekitar 900 kg per hektar, terdapat siklus peladangan yang mencakup sejumlah tahapan, dari pemilihan lahan hingga perayaan gawai (syukur panen padi), yang penuh dengan adat, budaya, kesenian, dan ritual yang khas.
Siklus peladangan orang Dayak dimulai jauh sebelum tanah ditanami benih. Meninjau lahan menjadi awal dari rangkaian upacara dan persiapan yang mendalam. Di sinilah dimulainya interaksi yang dalam dengan alam, memohon restu leluhur dan roh alam agar usaha pertanian berhasil. Proses ini mencerminkan hubungan harmonis antara manusia dan alam yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan Dayak.
Baca Surat Keterangan Tanah (SKT) Orang Dayak: Tanaman Buah Dan Karet
Pentingnya ladang dalam kehidupan masyarakat Dayak tak hanya sekadar terkait dengan produksi padi. Ladang adalah cerminan kearifan lokal yang melekat dalam setiap aspek praktik pertanian mereka.
Setiap langkah dalam siklus peladangan, mulai dari penanaman hingga panen, dijalani dengan menghormati tradisi dan adat yang telah diwariskan turun temurun. Ini adalah wujud penghormatan mereka terhadap leluhur, serta sebuah perwujudan keberlanjutan budaya Dayak di tengah perubahan zaman.
Ladang: bukan hanya tentang produksi pangan
Peladangan bagi orang Dayak lebih dari sekadar tugas pertanian; ini adalah bagian dari identitas mereka. Praktik berladang telah membentuk jati diri mereka sebagai suku yang memiliki kedekatan spiritual dengan alam dan kearifan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Di dalam proses ini, mereka memelihara dan melestarikan nilai-nilai budaya yang menjadi ciri khas bangsa mereka.
Dalam era modern ini, menjaga praktik peladangan Dayak bukan hanya tentang produksi pangan, tetapi juga tentang memelihara identitas dan kearifan lokal yang memperkaya keragaman budaya Indonesia.
Ladang: Warisan budaya Dayak dan bangsa-bangsa Nusantara
Mochtar Lubis dalam buku Bangsa Indonesia : Masa Lampau - Masa Kini - Masa Depan (Yayasan Idayu - Jakarta, 1980) mengembangkan orasi ilmiahnya di Gedung Kebangkitan Nasional pada 30 Januari 1976 menyatakan bahwa praktik peladangan telah dilakukan suku-suku bangsa Asia Tenggara, dan Nusantara sejak 10.000 tahun yang silam.
Pada halaman 9 buku itu dinyatakan bahwa praktik peladangan adalah warisan budaya Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan pulau-pulau lain di Nusantara. Terutama bagi orang Dayak.
Melawan dan menolak praktik kriminalisasi terhadap para peladang tradisional
Maka praktik kriminalisasi terhadap para peladang tradisional, seperti yang terjadi di Sintang, menunjukkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang dapat merugikan kelompok-kelompok masyarakat yang hidup dengan cara tradisional.
Dalam menghadapi isu dan kriminalisasi kepada para peladang tradisional ini, penting bagi masyarakat luas untuk mengambil sikap tegas dalam membela hak-hak para peladang tradisional dan menolak praktik kriminalisasi sebagai suatu bentuk penindasan yang tidak adil.
Sebagai bagian dari warisan budaya yang bernilai, peladangan menjadi titik pertemuan antara tradisi dan inovasi, di mana masa lalu dan masa depan berpadu dalam harmoni yang hanya Dayak yang mengerti.
(Rangkaya Bada)