Tampun Juah: Asal Mula Semua Suku Dayak Kalimantan Barat kecuali Kanayatn
Penampakan situs bersejarah Tampun Juah pada ketika ini. |
PATIH JAGA PATI : Tampun Juah. Suatu wilayah yang kaya sejarah. Terutama bagi suku bangsa Dayak di Kalimantan Barat. Yang jumlah bilangan klan/ subsukunya, menurut Alloy, Albertus, dan Istiany (2008) berbilang angka 151 klan besar.
Dalam horizon sejarah, Tampun Juah bukan saja situs sejarah. Lebih dari itu, situs ini juga "tembunik", asal usul kehidupan dan cerita bercampur legenda anak-anak Dayak sepanjang masa.
Bagi Dayak Sanggau, Tampun Juah sejarah asal mula segala sub-suku. Diyakini moyang Dayak Sanggau, Babai Cinga, berasal dan bermukim di Tampun Juah ini. Tatkala pendiri kerajaan Sanggau, Daranante, mencari dan bertemu sang suami ini berlayar dari anak sungai Sangao (dekat muara Sekayam, depan keraton Suryanegara kini) ke hulu, menyusuri sungai Sekayam, hingga Tampun Juah (Lontaan 1975: 170 - 171).
Baca Dayak Tidak Dari Mana Pun, Melainkan Asli Borneo
Tampun Juah, tak syak lagi, adalah asal usul tempat tinggal tanah tumpah darah Dayak Kalimantan Barat. Terkecuali orang Kanayatn dan Ketungau Tesaek yang meyakini asal mereka dari Gunung Bawakng dan Labai Lawai, daerah Sukalanting.
Di mana Tampun Juah?
Di mana gerangan tanah wilayah bersejarah itu?
Lokus persisnya kini di Desa Lubuk Sabuk, Kecamatan Sekayam, Kalimantan Barat. Antara batas Mongkos dan wilayah Sarawak, Malaysia. Sangat dekat dari Noyan, sebuah kecamatan terpencil di Kabupaten Sanggau.
Pada tahun 2018, konon ceritanya lokus ini statusnya Hutan Adat yang diakui Negara. Total luasnya 651 hektare. Tapi mengapa kini bisa jadi begini? Mari kita tanya pada rumput yang bergoyang!
Dahulu kala, Tampun Juah ini Tembawang. Lokus perkampungan orang Dayak yang sarat dengan mitos dan legenda. Umumnya kaum Iban, atau rumpun suku Iban, mempercayai bahwa nenek moyang mereka telah hidup beribu tahun silam di sini dan di tempat ini.
Asal Mula Perkampungan Semua Orang Kalbar, Kecuali...
Sebelum Iban migrasi dalam 3 musim ke wilayah Sekadau, Sintang, Putussibau, Batang Lupar, hingga Engklili dan Sri Aman, Iban terbanyak populasinya di Tampun Juah. Dionisius Meligun, budayawan lulusan Universitas Kepausan di Roma menjelaskan, "Rumah panjang orang Iban seberang sungai di situs Tampun Juah. Paling panjang, berarti banyak penghuni, panjang betang tidak kurang dari 7 kali terang sinar damar."
Orang Iban bulat mengakui asal usul mreka dari Tampun Juah. Termasuk sejarawan (Tawi Ballai, 1967), dan para pakar Iban dalam Iban Summit II di Tapang Sambas, 25 - 26 Maret 2023.
Sedemikian rupa sehingga Iban, suku bangsa yang populasinya paling banyak di antara suku Dayak yang ditengarai jumlahnya 1,3 juta ini nantinya beserara (berpisah) dengan Keling dan Kumang yang pindah ke dunia atas/ khayangan (Gaing, dan Amat dalam Entelah Leka Main Iban, 2021).
Baca Manusia Dayak Dan Kawasan Hijau Borneo
"Perkampungan atau rumah panjang orang Iban panjangnya 77 kali sinar damar," terang Dionisius Meligun. Ia pastor paroki Noyan, yang tak jauh dari sini.
Dion bergelar lisensiat teologi (Lic.Th.) lulusan Universitas Kepausan, Roma. Menulis buku mengenai Teologi Kontekstual, khusus Inkulturasi.
Menurut Dion, dahulu kala Tampun Juah tumpah ruah dengan manusia. "Di sebelah sini, rumah panjang suku lain, selain Iban," katanya menunjuk arah sebelah kanan sealir sungai yang kondisinya masih jernih. "Adapun rumah panyai orang Iban, seperti biasa, menghadap ke matahari tumbuh!."
Meski di perhuluan telah dikepung oleh kebun sawit. Tapi di masa-masa yang akan datang tidak ada yang bisa menjamin jika air ini masih tetap sebening kaca sebagaimana pada waktu ini.
Agaknya, pihak yang berwewenang mesti turun tangan untuk melestarikannya. Diperlukan political will dan political do. Bukan sebatas kebijakan, melainkan harus ada tindakan segera yang nyata.
Baca Daud Yordan: Dari Ring Tinju Ke Ring Pertarungan Merebut Tiket Anggota DPD Kalimantan Barat
Masih menurut pastor Dion. "Dahulu sungai ini lebarnya lima kali batang kelapa. Jika batang kelapa panjangnya 6 meter, kalikan saja lebarnya.
Sungai ini mengalir hingga Sekayam, Sekayam bermuara di Sungai Kapuas persis di ujung kota Sanggau saat ini. Dari sinilah jalan migrasi bangsa Iban itu tiga musim, sebagaimana dikisahkan dan ditulis oleh para peneliti."
Tampun Juah situs bersejarah Dayak Kalimantan Barat, kecuali Kanayatn, dan Dayak di Sarawak, Malaysia. Mereka bilang ini adalah: Tanah Semula Jadi. Sudah ada sejak diciptakan Tuhan, ketika menciptakan langit dan bumi.
Tawi Ballai (1967) menerbitkan buku khusus tentang Tembawai Bejuah. Dikisahkan mengenai asal usul orang Iban. Diakui dari tempat ini. Disebutkan tokoh-tokohnya. Tokoh utama adalah Keling dan Kumang.Selain Gemuring Gading dan Bujang Sabalu, kedua orang tua pasangan Rama dan Sinta orang Iban itu.
Sungai Tampun Juah: Dahulu lebarnya sekitar 30 meter dan bisa dilayari. |
Tempat-tempat pun disebutkan, antara lain: Betang Ai' Kepuas (Sungai Kapuas), Tatai Kedempai, Utan Berangan, Bukit Kelam, Semitau Tua, dan Batang Lupar.
"Jadi, Tampun Juah bukan sekadar mitos dan legenda. Ia sungguh ada," imbuh Dion.
Bisa Membangun, Kurang Bisa Merawat
Bisa jadi, inilah umumnya penyakit bangsa kita: Bisa membangun, kurang bisa merawat. Jangan malu untuk mengaku. Pengakuan akan kelemahan adalah awal dari perbaikan. Contohnya situs Tampun Juah ini!
Ya. Bukankah membangun bisa siapa saja, asalkan ada dana. Namun merawat? Tidak bisa setiap orang. Sebab selain diperlukan berkanjang, tekun, disiplin dalam merawat; juga memerlukan biaya yang rutin. Inilah masalah kita bersama!
Akan tetapi sayang, situs bersejarah Tampun Juah kondisinya kini jauh dari pemeliharaan. Dahulu kala, kata Dion, "Era Bupati Sanggau, Yansen Akun Effendi ada larangan meladangi atau berkebun di sekitar lokus minimal radiusnya belasan hektar.
Selama Yansen yang keturunan Tionghoa menjabat, masyarakat patuh. Namun kemudian, perusahaan menebangi pohon-pohon. Dan kini kondisinya seperti ini, dikepung kebun sawit," tunjuk Dion.
Tampun Juah situs bersejarahnya kini dikepung kebun sawit. |
Kami berkeliling situs Tampun Juah dengan sepuas hati. Sejauh mata memandang, kini tampak pohon sawit yang berjejer rapi. Sedikit saja sisa tegak berdiri pohon-pohon besar. Sisanya tumbuhan emas hijau. Tampun Juah kini makin botak. Bagai kepala orang tua yang hanya ditumbuhi satu dua helai rambut saja.
Sungainya seiring zaman yang tak pernah surut menoleh ke belakang, kian hari semakin susut karena pedangkalan. "Padahal dahulunya ini sungai jalur transportasi vital.
Tempat berlayar dan berlabuh kapal-kapal besar dari berbagai negeri. Nenekku cerita, kapal dari negeri jauh pun datang membuang sauh. Banyak kapal berlabuh. Dari Brunei, dari Dipa, Sunda Kelapa, bahkan dari Brawijaya".
Baca Tato Apai Janggut Dan Panglima Jilah
Masuk akal kiranya bahwa seiring dengan waktu ribuan tahun lalu, sungai ini semakin dangkal karena ditimbun gerusan material erosi dan dimasuki tanah longsor. Akan tetapi, aliran dan debit air masih lumayan sebenarnya.
Air masih mengalir jernih. Meski tidak menjamin bisa langsung diminum sebab mungkin saja tercemar oleh racun berbahaya untuk kesehatan, herbisida sistemik, karena orang kini membunuh rumput dan gulma kebun sawit dengan bahan kimia.
"Tak ada emas atau kebun kehidupan. Yang ada air kehidupan," kata Dion, berfilsafat. "Inilah salah satu prinsip hidup, filosofi orang Dayak. Yang hidup bersama (koeksistensi), dekat, dan bergantung pada alam. Alam rusak, rusak pula hidup dan manusia Dayak," terangnya..
Situs Tampun Juah yang dikepung kebun sawit. |
"Kita menunggu uluran tangan pihak yang peduli warisan budaya dan nilai tradisi. Utamanya Balai Pelestarian Cagar Budaya, tapi ini pun tidak bisa dijadikan tumpuan harapan. Pernah ada LSM dan pemerintah setempat memugar dan membuat bagus situs ini. Namun, kurang perawatan. Soal kendala di biaya, mungkin," kisah pastor Dion.
Bahkan semacam kelakar. Separuhnya pandir. Tapi harap jangan terlalu dipercaya. Mungkin saja olok-olok.
Dion menirukan kata-kata penduduk. "Itu kan aturan gak boleh berladang dan berkebun dibuat penguasa keturunan (Yansen Akun Effendi waktu Bupati Sanggau). Masa' Dayak tidak boleh berladang."
Bukan ladang yang merusak area sekitar situs Tampun Juah. Lihat saja dengan mata kepala sendiri kondisinya. Setelah mafhum tali-temalinya. Lalu simpulkan. Mengapa Tampun Juah seperti kondisi pada ketika ini?
Radio Komunitas dan Potensi Wisata yang Belum Dikelola
Seusai kunjungan ke situs, sore itu. Pastor Dion mengajak kami jalan-jalan. Ada Musa, Aco, Ohario, dan Tina Lie. Kami para pegiat literasi dan pecinta adat budaya. Sembari nyeruput kopi sore-sore di sekitar perkampungan penduduk.Baca Lumbung Padi Dan Ketahanan Pangan Manusia Dayak Menghadapi Krisis Pangan 2024
Kami masuk ke sebuah stasiun radio yang diberi nama "Radio Tampun Juah". Salah satu mata siarannya dalam bahasa Iban dan memutar lagu-lagu Iban.
Namun, seribu sayang. Oleh karena kekurangan dana operasional maka radio rakyat itu pun kian tak bertenaga untuk mengudara. Sekali di udara rupanya radio kita ini akan sekali di daratan pula. SOS kondisinya.
Ibarat ikan bukan lagi megap megap, melainkan telah mengapung di permukaan air. Padahal dipancarluaskan ke segenap penjuru mata angin.
Radius ratusan kilometer bisa menangkap siarannya. Mata acaranya pun bagus dan berguna.
Baca Dr. Masiun Mengungkap Hasil Penelitian Valuasi Wilayah Adat Taman Sunsong
Kiranya perlu dicari metode lain bersiaran radio pada masa ketika ini. Pihak pengelola yang kami temui mengatakan, "Kesulitan dana. Dahulu radio komunitas ini hidup dari iklan. Namun, kini pendapatan dari iklan seok. Tak tahu lagi harus berbuat apa?"
Sebenarnya, situs Tampun Juah ini berpotensi jadi destinasi wisata sejarah. Dengan catatan: dikelola secara profesional. Ia pasti menarik minat para peneliti, bule terutama, dan orang kota yang berduit. Teristimewa bagi yang hobi plesir ekowisata di area Sanggau dan sekitarnya, bisa menjadikan Tampun Juah destinasi wisata.
Akan tetapi, sayangnya. Jika situs Tampun Juah didesak kebun sawit, apanya lagi yang jadi daya tarik?
(Rangkaya Bada)