Rian Tubu : Situs Bersejarah Orang Dayak Punan

Rian Tubu, Punan, makam, leluhur, situs, Dayak, kecerdasan, spasial, alam, matematika, natural intelligences

Depan makam nenek moyang Punan di Rian Tubu.


Punan adalah salah satu darri 405 subsuku Dayak. Masih banyak stereotipe tentang suku ini. Satu dari sekian yang banyak itu adalah bahwa Punan masih berkeliaran di hutan-hutan Kalimantan. 

Pandangan seperti itu benar  adanya. Tapi segera diberi catatan: praktik di masa lampau. Sebab kini orang Punan telah maju. Sama seperti Anda. Tinggal di rumah atap ceng (atap seng), dengan tingkat sanitasi serta peralatan rumah tangga yang standar orang modern. 

Jangan pandang Punan sebelah mata!

Bahkan, di Tarakan, banyak orang Punan kuliah. Hal yang mengerankan adalah: rata-rata orang Punan yang kuliah itu mengambil jurusan Eksakta dan Matematika.

Apa artinya? Selain kederdasan alam (natural intelligences), orang Punan ternyata memiliki kecerdasan spasial dan matematika! Jangan pandang sebelah mata!

Bagi masyarakat Punan, Rian Tubu adalah destinasi yang harus dikunjungi. Mengapa demikian? Karena tempat ini adalah situs bersejarah yang menceritakan jejak peradaban mereka.

Saat mengunjungi desa Rian Tubu, kampung halaman ayahku, saya merasa haru dan nostalgia menguasai hati.

Setelah perjalanan panjang, akhirnya saya tiba di tempat yang sangat akrab di hati, tempat di mana akar keluarga saya tumbuh dan berkembang.

Sesampainya di sana, saya langsung berkumpul dengan keluarga yang menyambut kami dengan hangat.

Rian Tubu: Makam Leluhur

Salah satu tujuan utama kami adalah mengunjungi makam leluhur kami, sebuah tempat suci yang menyimpan sejarah keluarga kami.

Ketika melangkah menuju makam, saya merasakan ketenangan yang mendalam. Di sana, di bawah pepohonan rindang, terletak makam nenek saya.

Ternyata, bukan hanya satu, tetapi banyak nenek saya yang dimakamkan di sana.

Nama-nama mereka tercatat dengan indah pada batu nisan yang sudah berusia ratusan tahun:

  1. Laub
  2. Abong Laub
  3. Tangga Laub
  4. Lawing Laub
  5. Lahee Cipi

Makam ini diperkirakan berusia antara 200 hingga 300 tahun, sebuah peninggalan yang menjadi saksi bisu perjalanan panjang keluarga kami.

Melihat nama-nama leluhur saya, saya merasakan kebanggaan yang mendalam sebagai keturunan mereka.

Penulis narasi ini adalah generasi kedelapan dari garis keturunan yang kuat dan penuh sejarah ini.

Berada di sana, di antara makam leluhur, saya merenungi kehidupan dan warisan yang mereka tinggalkan. Mereka adalah orang-orang yang dengan gigih bertahan dan membangun fondasi bagi generasi berikutnya.

Mengunjungi makam ini bukan hanya ziarah, tetapi juga sebuah perenungan tentang siapa saya dan dari mana asal-usul saya. Ini adalah perjalanan batin yang mengingatkan saya akan pentingnya menghormati dan menjaga warisan keluarga.

Kembali ke Rumah Keluarga

Kami melanjutkan cerita dan kenangan tentang leluhur kami. Momen-momen seperti ini mengikat kami semakin erat, mengingatkan kami bahwa di balik setiap nama dan batu nisan, ada kisah dan pengorbanan yang membuat kami menjadi siapa kami sekarang.

Dengan penuh rasa syukur, saya berjanji dalam hati untuk meneruskan warisan ini. Akan senantiasa menjaga nama baik keluarga. Juga menghormati leluhur kami yang telah membuka jalan bagi masa depan kami.

(Fardeen)

LihatTutupKomentar
Cancel