Dinasti Tang (618-907) telah Mencatat Borneo dan Fenomena Mencuatnya Orang-orang Hakka Singkawang

Lo-a-kia, sibat, Hakka, Dayak, Singkawang, Hainan,Lie, fanzi, Yuan, dinasi, Borneo, zongting, Qin, Monterado, Han

MONUMEN PENDARATAN orang Hakka di Pemankat, Kalimantan Barat. Gambar: Dok. Rmsp 

PATIH JAGA PATI: Sumber-sumber Tiongkok dari Dinasti Tang (618-907) telah menyebut Borneo. Namun,  migrasi Tiongkok yang signifikan ke insula terbesar ke-3 dunia  ini baru dimulai pada tahun 1740. 

Baca Dayak Asli Borneo Tidak Dari Mana Pun Juga: Pembuktian Uji Karbon 40.000 Tahun Lalu Di Gua Niah, Miri

Mayoritas dari para migran ini adalah suku Hakka dari Fujian dan Guangdong. Mereka datang untuk bekerja di tambang emas di Borneo Barat. 

Pada ujung abad ke-18, jumlah penduduk Tiongkok wilayah kabupaten Sambas, Singkawang kota, dan kabupaten Bengkayang mencapai lebih dari 40.000 orang. Suatu bilangan yang melebihi jumlah penduduk Melayu dan Dayak pada ketika itu 

Pekerja tambang di Monterado: Kompeni HB terkejut

Awalnya, mereka bekerja di bawah penguasa Melayu, namun menjelang akhir abad ke-18. Orang Hakka membentuk persekutuan untuk keberlangsungan hidup mereka.

Pada tahun 1776, didirikan Heshun Zongting di Montrado, dan pada tahun 1777, Lanfang Kongsi Zongting (Anggrek Mulia) dibentuk di Mandor. Sebuah kelompok pecahan, Santiaogou (Tiga Lembah), berpisah dari Heshun Zongting sekitar tahun 1819. 

Orang Hakka/ Kkek Pemangkat tahun 1980-an. Dok. Penulis.

Selama hampir satu abad, zongting-zongting ini mengelola wilayah mereka seperti "mini-republik" dengan dewan-dewan yang dipilih dan dewan eksekutif. Pihak Belanda, terkejut dengan keberhasilan orang-orang Hakka. Maka Kompeni mengirim antropologis J.J.M. de Groot pada tahun 1880 untuk mempelajari situasi tersebut. Hasil penelitial menyimpulkan bahwa keberhasilan para warga Tionghoa di Borneo Barat pada ketika itu didasarkan pada budaya Hakka dan penerapan model masyarakat desa yang secara alami republikan.

Belakangan ini, Yuan Bingling menantang analisis berbasis desa ini. Ia mengusulkan bahwa struktur sosial zongting terinspirasi dari kisah 108 pahlawan dari novel abad ke-14 "Air Margin" karya Shi Naian. 

Semangat persaudaraan yang kuat

Menurut Yuan, cerita tentang 108 pahlawan ini mempromosikan semangat persaudaraan, sebuah prinsip yang mendasari perilaku sosial Tiongkok dan sistem dukungan mereka. Namun, pendapat lain menunjukkan bahwa penceritaan kisah ini telah sangat mempengaruhi masyarakat Tiongkok, dengan mitologi, teater, dan literatur rakyat menjadi alat utama untuk mengajarkan nilai-nilai tradisional.

Di wilayah Kalimantan Barat, zongting-zongting ini adalah persekutuan sukarela, dan hubungan keluarga sering diperluas ke masyarakat Dayak. Pria Tiongkok pada abad ke-18 yang datang tanpa pasangan sering menikahi wanita Dayak dan memandang keluarga mertuanya sebagai bagian dari keluarga mereka. 

de Groot pada tahun 1880, berdasarkan hasil penelitiannya, menyimpulkan bahwa keberhasilan para warga Tionghoa di Borneo Barat (Singkawang dan sekitarnya) pada ketika itu didasarkan pada budaya Hakka dan penerapan model masyarakat desa yang secara alami republikan.

Jejak-jejak sejarah ini masih terlihat dalam istilah Dayak untuk orang Tiongkok, seperti "sobat," yang berarti "sahabat." Sebaliknya, orang Tiongkok menyebut Dayak sebagai "Lo-a-kia." Istilah ini ditengarai merujuk pada dugaan bahwa Dayak berasal dari suku Lie di Hainan. Sedangkan istilah fanzi secara merendahkan dicadangkan untuk kelompok bukan-Dayak. Selama masa perang, persaudaraan seringkali menjadi yang utama, dengan Dayak dan Tiongkok bersatu dalam persatuan internal.

Kekuatan budaya Hakka di Singkawang dan sekitarnya

Bgaimana dengan proposisi lain de Groot? Peneliti profesional yang dibayar ini menyatakan bahwa ciri budaya Hakka berkontribusi pada keberhasilan Tiongkok di Kalimantan. Kiang menggambarkan orang Hakka sebagai "energik, kontroversial ... petualang, penjelajah, pejuang, dan pionir." 

Baca Infografik Dayak Dan Persebarannya Yang Mislead/Menyesatkan

Menurutnya, sifat-sifat ini berasal dari sejarah dan genetika orang Tionghoa sebagai bangsa migran yang mencari nafkah dari dataran tinggi miskin di Fujian dan Guangdong, sementara penduduk asli menikmati dataran rendah yang subur. 

Orang Hakka mengklaim berasal dari Asia Tengah. Mereka telah masuk ke utara Tiongkok sebelum Dinasti Qin, berperang dalam perang yang mendirikan Dinasti Han (206 SM–220 M). Kemudian, mereka bermigrasi ke selatan dalam lima gelombang. 

Pentingnya narasi dan retorika

Yuan menolak narasi ini sebagai "mitos keturunan bangsawan," tetapi seperti yang diilustrasikan oleh Constable, narasi/ retorika jauh lebih penting daripada persepsi diri Hakka, karena setiap kualitas khusus yang mereka klaim "dapat memiliki kekuatan khusus dalam mobilisasi etnis sebagai kekuatan sosial." 

Jika dipahami sebagai konstruksi budaya, etnisitas menunjukkan "bagaimana realitas menjadi nyata, bagaimana esensi menjadi penting, bagaimana materialitas menjadi materi." 

Jika begitu, apa yang dapat dipahami dari fakta bahwa buku dan situs web tentang Hakkas, yang dibuat oleh Hakka sendiri, sering kali mencakup snarai panjang tokoh terkemuka Hakka? 

Demikian pula, ketika saya berbicara dengan Hakkas di Indonesia dan Singapura tentang warisan mereka, mereka dengan cepat memberi tahu pemimpin Hakka terkenal. Misalnya, Kiang menghitung Deng Xiaoping, Lee Kuan Yew, dan Lee Teng Hui, di antara banyak lainnya, sebagai tokoh terkemuka. 

Orang Hakka Singkawang yang menonjol

Christiandy Sanjaya, Wakil Gubernur Kalimantan Barat  (2008 - 2018), dan Hasan Karman, Wali Kota Singkawang, dan Tjhai Chui Mie adalah orang-orang Hakka. Oleh karena itu, seperti pada abad ke-18, hari ini juga terdapat pemimpin Hakka di Kalimantan Barat.

Orang Hakka Singkawang bangga dengan identitas Tionghoa mereka. Mereka tetap mempertahankan bahasa mereka dari generasi ke generasi meskipun tekanan dari Orde Baru. 

Selama perjalanan penelitian saya, saya berulang kali mencatat bahwa bahasa Hakka adalah bahasa utama yang digunakan dalam percakapan di antara orang Tionghoa setempat, bukan Bahasa Indonesia atau bahasa kreol yang sebanding dengan bahasa Jawa kasar. 

Sebaliknya, banyak orang Tionghoa di Jawa tidak menguasai bahasa Tionghoa. Salah satu contoh kebanggaan etnis Tionghoa yang bangkit kembali adalah kebangkitan wayang kulit dari larangan Orde Baru, satu-satunya kelompok wayang kulit di daerah tersebut, Xin Tian Cai (Warna Surga Baru), dengan dalangnya yang sudah tua, Zhong Lian Lin. 

Tidak mengherankan, Singkawang dan sekitarnya dikenal sebagai "Small China in Tropics". Pecinan yang paling besar di mana pun di Nusantara dan Indonesia sampai pada ketika ini. Namun, ada sisi lain dari resistensi komunitas Hakka Kalimantan Barat terhadap asimilasi budaya ke dalam komunitas asli yang lebih besar, meskipun sudah lebih dari 250 tahun sejarah mereka di sana. 

Penulis: Rangkaya Bada
Riset: Masri Sareb Putra, M.A.

LihatTutupKomentar
Cancel