Pangbudjang: Salah Satu Hero Perang Madjang Desa yang Terlupakan

Jepang, Nipon, Pontianak, Tayan, Meliau, Madjang Desa, Pang Budjang, Pang Sulang, Pang Dandan, Pangsuma, Pangkilat,Syuu Tizi

Pangbudjang, sosok yang terlupakan dalam Perang Madjang Desa. Dok. Hidup.

PATIH JAGA PATI : Panglima Budjang (kerap disingkat: Pangbudjang), satu dari 5 Pang (Panglima) Perang Madjang Desa yang tak banyak diketahui. Mereka bagai umbi yang berisi dalam sunyi. Bak mawar yang harum dalam dalam jambangan. 

Padahal Pang Budjang, Pang Sulang, Pangkilat, dan Pang Dandan ibarat dala sepakbola Spanyol para pemain di belakang Pangsuma yang sangat terkenal itu. Pangsuma pencetak gol, Pang yang pemain-pemain yang bukan saja turut aktif memainkan peran dan fungsinuya, akan tetapi sebagian adalah penjaga pawang, seperti Pang Budjang.

Siapa Pang Budjang?

Perang Madjang Desa dikenal akan Pang Suma sebagai tokoh utamanya. Bagai seorang pencetak gol, ia tahu betul bahwa sukses hanya datang dengan dukungan penuh timnya. Seperti dalam sepak bola.

Seorang asis penting, yang juga turut berperan dalam kemenangan legendaris Perang Madjang Desa itu, adalah Pang Budjang. Namanya diambil dari panggilan ksatria dalam cerita-cerita epik suku Dayak, Budjang, nama yang menggambarkan seorang pemuda yang hendak menjelma dewasa. Meski tubuhnya tidak besar, kegantengannya tidak diragukan lagi. Sikapnya penuh keberanian, siap menghadapi segala tantangan untuk melindungi suku, klan, dan wilayahnya.

Kehidupan memang membentuk karakter seseorang, dan hal ini terjadi tidak lama setelah Indonesia merdeka, ketika Kalimantan Barat masih bergumul dengan kehadiran Jepang [1]. Panglima Budjang, salah satu pembela kaumnya, memilih jalan yang sepi dan sulit. Meski tampangnya tak mengesankan untuk seorang panglima, keberaniannya terpancar dari mata yang tajam.

Mengapa Jepang ke Borneo?

Dalam usaha mereka untuk mendirikan Negeri Timur Jauh, Jepang melihat Pulau Borneo sebagai lokasi strategis yang sangat penting. Pulau ini membentang dari utara ke selatan, menghubungkan kepulauan Jepang, Formosa, Borneo, dan Celebes. Dalam konflik Perang Asia Timur Raya, Jepang memiliki keinginan untuk mengintegrasikan gugusan pulau ini menjadi bagian dari wilayah kekuasaannya.

Kota-kota di sepanjang pantai Laut Cina Selatan, seperti Sambas, Pemangkat, Singkawang, Mempawah, Sei Pinyuh, dan Pontianak, dianggap sangat strategis dan menguntungkan bagi Jepang sebagai benteng pertahanan. Selama pendudukan mereka, Jepang membentuk pemerintahan di Borneo Barat dengan mendirikan tiga karesidenan baru, termasuk Kalimantan Timur dengan Samarinda sebagai ibu kotanya.

Borneo Barat berada di bawah kendali Angkatan Laut Jepang (Kaigun) dengan nama Borneo Minseibu Cokan yang pusatnya berada di Banjarmasin[1]. Wilayah ini tetap menjadi Minseibu Syuu yang dikuasai oleh Syuu Tizi. Pemerintahan Jepang ini kemudian digantikan oleh pemerintahan Belanda, Nica, pada tahun 1945 setelah berakhirnya pendudukan Jepang.[1]

Di Pontianak, Jepang kejam sekali terhadap penduduk. Yang disingkirkan adalah para tokoh Kalimantan Barat yang berpengaruh, mulai dari kesultanan, timanggong, hingga para panglima. Maka dimulailah sungkup[2] yang sangat mengerikan itu. 

Budjang tahu betul bahwa Perang Madjang Desa tidak seperti pertempuran biasa. Dalam catatan pengayauan, hanya ada satu panglima besar, sementara yang lain turut berperan dalam menjadikannya sukses. Dalam perang melawan pendudukan Jepang di Meliau dan Tayan, Budjang adalah salah satu dari mereka yang terlibat dalam kebesaran Perang Madjang Desa. Meski Pangsuma[3] yang banyak dikenal publik, bukan berarti ia bekerja, dan perang seorang diri.

"Tidak banyak yang mengenal Panglima Budjang, tapi bagi generasi kami, angkatan '45, dan para tua di atas 80 tahun, namanya sangat dikenal," ungkap L.C. Sareb, seorang tetua dari Jangkang yang mengenal Budjang dengan baik.

Tidak banyak catatan tertulis tentang Panglima Budjang, tapi orang-orang seperti Sareb dan Tui, yang mengalahkan Jepang, merayakan kemenangan mereka di Bonti[4], salah satu kecamatan di wilayah Kabupaten Sanggau kni yang disebut "gawai notokng". Selain lagu dan syair kemenangan diciptakan dan dinyanyikan, lahir banyak Ode, yang syairnya antara lain: 

Sanggau, Meliau, Tayan, dan Jangkang.... berani makan hati Jepang[5]

Panglima Kilat dari Simanggang, yang dikenal sebagai Pang Kilat, juga turut berpartisipasi. Mereka adalah panglima-panglima Dayak yang tidak tercatat secara resmi, namun peran mereka sangat besar.

Ayahnda Uskup Agung Ponianak, Mgr. Agus

Budjang menikah dengan Joe dan mereka memiliki delapan anak. Tiga putranya masuk biara. Anak pertama mereka, Yohanes Anes MTB, Mgr. Agustinus Agus, Vincentius, Petrus Piet, Philimus, Vitalis, PR. (Bruder Marcellius Bernardus MTB), dan Edita Yati, satu-satunya putri mereka.

Dalam buku lain, tidak ada catatan tentang peran Panglima Budjang dalam Perang Madjang Desa. Markus Yohanes Tui, seorang tetua dari Lintang di Sanggau yang juga mengenal Budjang dengan baik, mengingat selain Budjang, ada panglima lain yang namanya ia lupa. "Tapi kami mengenang Budjang karena ada hubungan darah di antara kami," katanya.

Perjalanan Panglima Budjang dari Lintang Pelaman tidaklah mudah. Perang melawan Jepang di Borneo Barat dipicu oleh keinginan mereka untuk menguasai wilayah tersebut. Dalam upaya mendirikan Negeri Timur Jauh, Borneo dianggap sangat strategis. Kota-kota di sepanjang pantai Laut Cina Selatan menjadi benteng pertahanan yang penting bagi Jepang.

Orang-orang Dayak, dengan keahlian mereka dalam medan hutan, berhasil mengalahkan pasukan Jepang. Mereka selalu menghindar ke hutan saat siang hari, menyergap Jepang saat patroli dilakukan. Pasukan Dayak dari berbagai suku bersatu melawan penjajah, dengan Panglima Budjang dan yang lainnya memainkan peran penting dalam perang yang berlangsung dari April hingga Agustus 1944.

Setelah mengalahkan Jepang dan memenangkan Perang Madjang Desa, orang-orang Dayak merayakan kemenangan mereka di Bonti, dekat Jangkang. 

Pang Suma dikenal luas sebagai panglima perang Dayak saat itu, tetapi sebenarnya ada panglima lain seperti Pang Dandan dan Pang Solang. Panglima Budjang dari Lintang Pelaman adalah salah satu dari mereka yang namanya tidak tercatat dalam sejarah resmi, namun jasanya tetap diingat dan dihargai.

Menjadi Katolik

Kehidupan awal Budjang adalah seorang sederhana dari Lintang Pelaman, wilayah Sanggau. Secara tradisi penganut kepercayaan lokal yang jika ditelusuri dipengaruhi oleh corak kepercayaan Hindu-India sebagaimana tampak dari bahan-bahan upacara, persembahan, dan mantra-mantranya.

Di kemudian hari, setelah anak-anaknya lahir dan besar, Budjang baru konversi kepercayaan menjadi seorang Katolik yang taat dan hidup saleh. Bahkan anak-anaknya menjadi bruder dan pastor. Salah satunya yang menonjol adalah Mgr. Agustinus Agus, Uskup Agung Pontianak pada ketika ini.

-- Masri Sareb Putra, M.A.

Catatan Akhir:

[1] Yang menguasai Jawa adalah Angkatan Darat (Rikugun) Jepang.  Meski berbeda angkatan yang menguasai, toh tampuk kekuasaan berada dalam satu tangan yang lebih tinggi lagi, yakni Saiko Shikikan.

[2] Secara harfiah berarti: menutup kepala dengan kain atau sarung goni.

[3] Namanya banyak diabadikan sebagai bentuk dan ujud penghormatan masyarakat Kalbar atas jasa-jasanya. Selain gelanggang olahraga di Jalan A. Yani Pontianak yang bernama Pangsuma, banyak gedung dan jalan bernama demikian. Bahkan, ada bandara yang diberi nama Pangsuma

[4] Ada lagunya, yang mengambil dari nada lagu Jepang, Mashiro Ni Fujma. Syairnya diciptakan oleh Akim. Ada seorang juga yang gagah perkasa/ Asalnya dari tanah  Majang dan Desa.

[5] Seperti dinyanyikan kembali oleh Piden dan Mantah dari Jangkang tahun 1970-an yang mengakui mengetahui Ode itu dari para "Penglima Kecil dan tak tercatat" dari Jangkang yang turut dalam perang Madjang Desa, yakni Tja, Jiku, dan Libut yang ikut dalam Gawai Kemenangan di Bonti. 

LihatTutupKomentar
Cancel